Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Juli 2011

Memories of the Winter - Chapter 6 42

--cerita sebelumnya--





Chapter 6 : I Love You



Mendung.

Suasana yang sangat mendukung. Setidaknya bagi seseorang yang sedang terluka seperti Sasuke. Kilau mata dinginnya lenyap entah kemana, bergantikan dengan jejak pedih yang sanggup menimbulkan rasa iba bagi siapa saja yang melihat. Guratan yang sama ketika ia kehilangan kakaknya beberapa tahun silam. Dan kini ia menampakkan guratan itu lagi saat mengetahui sebuah kenyataan besar yang selama ini tak diketahuinya.

Itachi meninggal karena dirinya.

"Mengapa?" tanyanya lirih. Suaranya bergetar. Ia ingin menangis─menumpahkan seluruh emosi yang sedari tadi berkelana dalam benak. "Bodoh. Kau benar-benar bodoh, Itachi…" Ia menyentuh pusara Itachi dengan tangan bergetar. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Ditampiknya seluruh ego yang bersarang dalam tubuhnya. Ia ingin menangis. Seorang Uchiha menyedihkan ini sangat ingin menangis. Saat ini hanya itulah yang dapat membuatnya lega. Ya …menangis.

.

-flashback-

"Sasuke, bagaimana jika aku bilang, kalau penyebab meninggalnya Itachi bukanlah murni kecelakaan?"

"Eh?" Sasuke terkesiap saat pernyataan itu meluncur dari bibir Gaara. Jantungnya bagai dihantam gemuruh. Mata onyx-nya melebar dan terus menatap Gaara penuh tanya. "A-apa maksudmu?"

Gaara bergeming. Ia terdiam─tampak menyesal. Tak seharusnya ia membeberkan itu. Bagaimana pun juga Itachi telah mempercayakan rahasia besar ini padanya. Namun di lain sisi ia tak tega melihat Sasuke yang tersiksa hanya karena sebuah kenyataan yang tak diketahuinya tersebut. Sasuke harus tau. Dia harus tahu rahasia ini.

"Gaara? Kau menyembunyikan sesuatu?" Sasuke bertanya ragu. Entah mengapa sebagian dari jiwanya mengoyak untuk tahu alasan keganjilan sikap Gaara. Namun bagian yang lain seakan membisu─terlalu takut mendengar kenyataan yang mungkin akan semakin membawa perih.

Maaf Itachi, aku harus membongkar ini semua, batin Gaara bersua. Ia yakin keputusan ini akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Ia pun mulai membuka mulut dan memandang Sasuke nanar, "Itachi…" Gaara menarik nafas dalam-dalam. "…kecelakaan itu disengaja olehnya. Ia telah merencanakan kecelakaan ini sebelum kejadian naas itu terjadi."

Di detik berikutnya, kaleng minuman yang sedari tadi dipegang Sasuke, terjatuh di lantai. Sasuke tercengang. Entah ia tak tahu harus bereaksi apa, saat kalimat itu keluar dari mulut Gaara. Ia terus terdiam. Mata onyx-nya menatap kosong penuh rasa tidak percaya dan keterkejutan yang tak mampu digambarkan oleh kata.

Gaara menunduk, "Dia sangat menyayangimu, Sasuke. Sebenarnya dia juga tidak tega meninggalkanmu, sementara dia sendiri sudah diberi amanah dari almarhum orang tua kalian untuk terus menjaga dan menemanimu. Tapi…" Gaara terdiam untuk sementara. Ia menarik nafas dan kemudian melanjutkannya, "…dia sangat keras kepala. Dia menuruti egonya tanpa berpikir panjang. Saat itu aku hampir tidak mengenalinya. Seorang Uchiha Itachi menjadi lemah karena terbutakan cinta. Maaf saat itu aku tidak berhasil mencegahnya." Lelaki berambut merah itu kembali menunduk.

Tak ada satu patah kata pun yang diucapkan oleh Sasuke. Rupanya berita ini cukup membuatnya shock. Ia tetap bertahan dalam kesunyian semunya. Tak akan ada yang tahu, bahwa dibalik kebisuan itu, tersimpan pemberontakan yang teramat pedih dari hati.

"Itachi mencintai Sakura. Kau juga tahu itu kan?" Gaara kembali memecah keheningan, "Tapi sayangnya perasaan tulus itu bertepuk sebelah tangan."

Eh?

"Kau mencintai Sakura kan, Sasuke? Itachi tahu itu sejak lama. Dan dia juga tahu, kalau Sakura…" Suara Gaara tercekat di tenggorokan, "…Sakura juga mencintaimu."

Sasuke ternganga. Seketika ia menggeleng─mengenyahkan semua cerita Gaara dari otaknya. Sungguh ia tidak mau mempercayai itu. Dadanya sesak, seakan ada sesuatu yang menghantam dan membiarkannya menimbulkan rasa menyakitkan yang teramat sangat.

"Dia mengira kematian adalah satu-satunya jalan untuk bisa merelakan kalian berdua. Dan ia memilih jalan itu." Lelaki berambut merah bata itu mengakhiri ceritanya dengan menunduk, "Maaf Sasuke, baru sekarang aku mengatakan ini padamu." ujarnya lirih seraya terus menenggelamkan kepala─berupaya menyembunyikan perasaan sedih yang menggelayut hati.

Sasuke tak berkutik. Sekian lama ia membisu. Tak satupun kata yang terlontar. Tak satupun air mata yang terjatuh. Pemuda berambut hitam itu hanya dapat memasang topeng bisu untuk menutupi pemberontakannya dalam jiwa.

-end of flashback-

.

Jauh dalam hati Sasuke, ia tidak ingin mempercayai cerita Gaara. Ini terlalu berat. Ini terlalu sulit untuk diterima. Tapi apa yang harus ia perbuat? Saat ini dia mengerti. Semua pertanyaannya sudah terjawab. Kejanggalan sikap Itachi sebelum pergi ke rumah Sakura berhasil menjawab semua ketidak percayaannya.

Isakan tangis mulai terdengar. Pemilik mata onyx itu menangis hebat. Bertubi penyesalan menyusup masuk dalam benak. Kalau saja saat itu ia mencegah Itachi. Kalau saja saat itu ia peka dalam menyimpulkan kejanggalan itu. Dan kalau saja…dia tidak pernah mencintai Sakura. Kalau saja seperti itu, hidup Itachi tak akan pernah berakhir seperti ini.

"Kau orang terbodoh yang pernah kutemui, Itachi. Kau sangat bodoh. Benar-benar bodoh…" Hanya kalimat itu yang dapat keluar lirih dari mulutnya. Selanjutnya ia hanya dapat kembali menangis. Karena hanya tindakan itulah yang dapat menyalurkan rasa sakitnya.

…lewat air mata.

.

.

Danau Harura.

Disinilah Haruno Sakura berada. Gadis itu tengah duduk di tepi danau dengan raut sedih. Senyum yang tercipta setiap kali ia berada di tempat itu, kini lenyap entah kemana. Ditatapnya pemandangan danau dengan pandangan nanar. Pandangan kosong yang tersirat berjuta kesedihan.

Perlahan ia menunduk. Kali ini pandangan itu terpusat pada amplop coklat di kedua tangannya. Amplop itu memang hanyalah amplop biasa. Tapi didalamnya tersimpan bongkahan perih yang sanggup meruntuhkan dinding asa yang selama ini telah dibangunnya dengan susah payah. Gadis itu bergeming saat membaca sampul depan di amplop tersebut. Nama rumah sakit yang kemarin sempat dikunjunginya untuk memeriksakan diri perihal bercak di wajahnya, seakan menjadi saksi bisu dari awal kepedihan ini.

"Tuhan…" panggilnya lirih. Lantas ia mendongak menatap langit.

Mendung.

Bahkan langit pun memahami suasana hatiku saat ini.

Untuk saat ini, hanyalah kata itu yang melintas dalam otak. Ia tahu bahwa ia harus tabah. Ini cobaan Tuhan untuk membuatnya semakin kuat. Lagipula ia sudah cukup sering mengalami hal ini sebelumnya. Kesedihan yang mendalam. Perasaan tertekan karena sobekan tajam. Ia sudah cukup sering melaluinya.

Kematian ayahnya, kematian Itachi, dan kehilangan Sasuke─cinta pertamanya. Seharusnya ia bisa menjadikan itu sebagai sebuah pengalaman untuk lebih tegar.

Tapi kali ini, ia benar-benar tidak bisa.

Sesak. Sangat menyesakkan. Kenyataan ini terlalu berat untuk manusia serapuh dia. Ia menyadari itu. Rasanya sangat perih. Hingga ia tak kuasa memberontak pada lingkar takdir yang begitu kejam.

"…Mengapa harus aku, Tuhan?"

.

.

Datanglah ke danau yang aku tunjukkan beberapa hari yang lalu.

Ada yang ingin kubicarakan.

Meski tanpa mencantumkan nama, meski nomor itu tak tercantum di kontak ponselnya. Namun agaknya Sasuke tahu siapa pengirim pesan itu. Ia pun langsung menyambungkan telepon pada pemilik nomor tersebut.

"Halo?" sapa suara di seberang telepon. Suara yang berbeda dari yang biasa didengarnya. Suara yang selalu terdengar manis di telinga, kini terdengar serak─seakan menyimpan bertubi kepedihan di dalamnya. Dan tak bisa dipungkiri, bahwa ia merindukan suara itu. Sangat rindu…

Sasuke tersadar dari lamunan ketika suara di seberang telepon kembali mengulang kata yang sama seperti sebelumnya. Pemuda itu pun menarik nafas. Dalam sekejap rasa gugup melanda. Hingga ia tak kuasa untuk mengatakan apa yang dirasakannya saat ini. Wanita di seberang telepon, yang pernah dicintainya, bahkan sampai detik ini terus dicintainya, tak bisakah mengerti bagaimana perasaan itu tanpa harus melalui kata?

"Maaf." ucap Sasuke lirih.

Maaf atas ketidak pedulianku selama ini. Maaf atas keegoisanku selama ini. Maaf atas ketidak jujuranku selama ini. Maaf, Maaf.

"─Maaf aku tidak bisa datang kesana." Sasuke menunduk, mengutuk dirinya sendiri. Sikap egoisme seorang Uchiha kembali menyerang. Seandainya saja ia bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terpendam dalam hati. Seandainya saja ia bisa mengungkapkan semua itu.

Wanita di seberang telepon sempat terdiam. Hingga beberapa detik kemudian, ia kembali berujar, "Aku akan menunggu sampai kau datang."

Dan… klik! Sambungan telepon terputus.

Tanpa berpikir panjang, Sasuke segera mengambil langkah seribu menuju stasiun. Ia harus cepat kembali ke Konoha. Itulah yang saat ini ia pikirkan. Wanita itu, wanita yang begitu dirindukannya itu, sedang menunggunya disana. Ia harus segera datang.

.

.

"Sakura…" Dengan ringkihan nafas yang berpacu selepas berlari, Sasuke memanggil nama itu dalam kegetiran. Sudah lama ia tidak menyebut nama tersebut. Ia sangat merindukannya.

Dilihatnya Sakura sedang duduk di atas rumput di tepi danau. Ia sedikit bergeming saat wanita berambut merah jambu yang dipanggilnya tadi, menoleh ke arahnya. Wajah ceria yang selama ini menghiasi wajah gadis tersebut, seakan hilang bergantikan dengan jejak lesu yang mengintimidasi setiap lekuknya. Bahkan mata emeraldnya tampak sembab. Terlihat sekali bahwa gadis itu baru saja menangis.

Gadis itu lantas tersenyum hambar. "Aku tahu, kau pasti datang." ucapnya pelan. Ia menatap Sasuke nanar.

"Sakura…" Sasuke meyebut nama itu lagi. Jika bisa, ia ingin selamanya menyebut nama itu terus menerus. Ia terlalu rindu. Ia terlalu merindukan nama indah itu terlontar dari bibirnya. "Sakura…" panggilnya lagi. Lirih. Penuh kepedihan. Seakan ia menginginkan malam ini hanya ia yang akan berbicara. Entah mengapa tiba-tiba sebuah firasat kecil mengumpul dalam benak. Akan ada satu masalah lagi yang terjadi malam ini. Pemuda itu hanya dapat berharap bahwa Sakura tak mengatakan hal yang mampu menambah koyakan perih di dadanya.

"Mulai besok, aku akan menghilang dari hadapanmu."

DEG!

Sasuke terkesiap. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. "A-apa?" Sasuke bertanya dengan suara bergetar.

Gadis yang berada di hadapan Sasuke, lantas tersenyum. Ia menatap pemuda itu dengan penuh keyakinan, "Sesuai harapanmu, bukan?" Selepas kalimat itu meluncur tegas dari bibir merahnya, gadis itu pun tersenyum pada Sasuke, dan beranjak pergi dari tempat itu.

Sasuke masih diam tak bergeming. Hingga saat Sakura melewatinya, baru ia bertindak. Tanpa sadar, tangannya menahan tangan Sakura─seakan ia ingin gadis itu tidak pergi dan tetap berada di sampingnya. Sudah lama ia menanti. Dan ia tidak ingin penantiannya terbuang percuma. "Mana bisa kau berbuat seperti ini?" Sasuke menoleh ke arah Sakura, "Kau sudah membawaku sejauh ini, Sakura. Dan saat aku menyadari rasa ini, kau justru ingin pergi dariku?"

Sakura menatap pemuda yang saat ini menggenggam tangannya dengan tatapan menusuk, "Aku tak mau melihatmu lagi. Aku ingin lenyap dari hadapanmu. Bukankah ini yang kau harapkan sedari dulu, Sasuke?"

Mata onyx milik Sasuke melebar tatkala kalimat Sakura menyentuh gendang telinganya. Semua itu terlalu menyakitkan untuk didengar. "Kau baru saja mengatakan bahwa kau mencintaiku. Dan sekarang kau mengatakan kau ingin lenyap dari hadapanku? Kau kira ini hanyalah sebuah lelucon yang bisa kau ucapkan semudah itu?"

"Lupakan pernyataan cintaku tempo hari. Anggap saja aku tidak pernah mengatakannya," jawab Sakura tajam, namun entah mengapa ada sedikit keraguan di dalamnya.

Sasuke tercenung. Ia tak menyangka Sakura akan tega mengombang-ambingkan perasaannya seperti ini. "Tidak. Kau bohong." Sasuke menggeleng lesu. Perkataan Gaara tentang perasaan Sakura padanya, terlintas kembali di otaknya. "Kau mencintaiku."

Gadis berambut jambu itu kemudian tertawa masam, dan kemudian mengedikkan bahu. Ia melepaskan genggaman tangan Sasuke, lalu berniat melangkah menjauh dari pemuda bermata onyx tersebut. Lagi-lagi usahanya gagal ketika Sasuke menahannya dan menariknya ke dalam pelukan.

"Katakan itu tidak benar." ucap Sasuke lemas. Ia memeluk erat Sakura dalam dekapan. Ia benamkan wajahnya di bahu gadis itu. Ia sempat terdiam hingga kemudian berkata, "Aku mencintaimu." Meski dengan susah payah, alhasil kalimat itu akhirnya terlontar tegas dari mulutnya.

Sasuke bernafas lega. Akhirnya dua kata yang selama ini selalu ditekannya karena egoisme seorang Uchiha, kini meluncur tanpa beban. Namun meski demikian, perasaan galau kembali mennyelimuti. Ia terlalu takut menyadari kenyataan bahwa Sakura tetap akan bersi kukuh pada niat awalnya untuk meninggalkan pemuda menyedihkan ini.

"Sakura…" Sasuke mengeratkan pelukannya saat Sakura tak juga membalas pernyataan cintanya. Ia benamkan wajahnya lebih dalam di atas bahu gadis berambut merah jambu tersebut. Demi Tuhan, ia teramat mencintai gadis itu. Ia tak akan rela kehilangan untuk yang kedua kalinya. Sudah cukup beban yang ditanggungnya karena rahasia sang kakak. Kini ia tidak mau batinnya lebih menderita. Ia ingin gadis itu mengerti apa yang selama ini dirasakannya. Betapa selama ini ia selalu menekan keinginan untuk menggenggam tangannya, memeluknya, menyatakan rasa padanya, dan memilikinya.

Tiba-tiba pemuda berambut raven itu kembali dikejutkan, ketika gadis yang berada dalam dekapannya ini, mengeluarkan sebuah isakan kecil dari bibirnya. Eh? Sasuke menggigit bibir. Perlahan ia mengendorkan pelukannya. Dalam hati ia memberontak. Ia kembali dikelilingi rasa bersalah. Ini bukan pertama kalinya, Sakura menangis karena perbuatannya. Ia masih ingat betul saat insiden kematian kakaknya─seusai ia mengusir Sakura untuk keluar dari hidupnya. Dan semua pasti bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Gadis itu menangis.

Air mata yang sedari dulu teramat ingin dihapusnya, bolehkah ia menggantinya saat ini?

Baru saja jemari Sasuke hendak menghapus rintihan permata kepedihan itu, Sakura tiba-tiba angkat bicara di tengah tangisnya, "Kau terlambat Sasuke."

Sasuke ternganga. Sesaat ia kembali menajamkan pendengarannya─sekedar berharap bahwa bukan kalimat itu yang ia dengar barusan. Namun apa mau dikata, harapan itu tak sejalan dengan kenyataan. Kalimat yang sama kembali meluncur dari mulut Sakura. Dan pemuda itu hanya dapat mematung saat menyadari hatinya kini runtuh menjadi bongkahan kasat mata.

Seorang Uchiha ditolak?

Sasuke tercenung. Masih terdiam dalam kesunyian yang menyakitkan. Ia dapat merasakan jantungnya serasa dihujam meriam. Perih. Dadanya begitu sesak tak tertahankan.

Gadis berambut merah jambu itu menggumam kecil setelah sekian lama berlangsung hening, "Biarkan aku pergi," pintanya lirih

Sasuke lantas melepaskan genggamannya dengan lemas. Entah apa yang harus ia lakukan saat ini. Ini terlalu menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada apa yang sudah terjadi selama ini.

Dan sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Pemuda itu hanya dapat terdiam. Tak sedikit pun mengungkapkan beribu pertanyaan yang masih membuncah di otaknya. Ia terlalu takut. Ia begitu takut jika gadis itu justru mengatakan sesuatu hal yang lebih buruk.

Ia takut hatinya lebih terluka dari ini.

Pemilik mata onyx itu terduduk di atas rumput, menopang tubuh lemasnya dengan lutut. Gadis yang dicintainya kini telah pergi. Dan ia tidak kuasa lagi untuk terus berpura-pura kuat. Bertubi pemberontakan terus menerus berselubung dalam benaknya. Andai ia mengatakannya sejak awal, akankah berakhir seperti ini? Mungkin tidak.

Ditundukkannya kepala─sekedar menyembunyikan bening air yang mulai membasahi mata. Entah sejak kapan ia menjadi secengeng ini. Semua hal yang sudah terjadi padanya, sungguh teramat menyedihkan.

Untuk saat ini, mungkin tangisan hanyalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.

.

.

.

To be continued

Rabu, 29 Juni 2011

Aku Datang 18


Di bawah purnama aku berpijak─sekedar menyerukan rintihan luka dalam kesunyian lara. Kutengadahkan kepala seraya menerawang angkasa tanpa cela. Tak seharusnya aku terlambat menyadari. Kini aku ingin membuat sebuah pengakuan. Biarlah langit tahu, aku tengah dirundung pilu yang teramat menyesakkan. Biarlah angin pun tahu, aku telah menepis jauh rasa ego yang selama ini menggelayutiku dengan erat. Dan biarlah alam tahu, aku merindukan sosok malaikat kecil di tempat itu.

Sangat merindukannya…

Aku benci diriku yang lemah seperti ini. Namun tak bisa dipungkiri, aku jauh lebih membenci diriku yang dulu. Diriku yang selalu mempertahankan sikap angkuh demi meraih apa yang aku inginkan. Hingga aku tak menyadari semua orang tersakiti karena perbuatan bodohku. Terutama dia.

Memori itu masih terekam jelas dalam ingatan. Dia─gadis itu─gadis yang terakhir kali kutemui sebelum meninggalkan Konoha, aku merasa sangat bersalah padanya. Entah seberapa terluka dia saat itu. Mengingat betapa rasa yang ditujukannya begitu besar padaku. Aku menyesal. Aku merasa berdosa telah meninggalkannya.

Dia. Dia selalu menatapku dengan tulus. Menyatakan rasa sukanya padaku berulang kali. Bahkan selalu mengkhawatirkan keadaanku sekalipun aku merasa baik-baik saja.

Bodoh. Mengapa aku baru menyadarinya? Mengapa aku baru sadar bahwa sesungguhnya dia…

…teramat berarti untukku?

Kini aku menyerah. Kutinggalkan semua sikap burukku di masa lalu. Aku ingin mengulang semuanya dari awal. Bolehkah?

DEG!

Aku segera bersembunyi saat kudengar derap langkah yang mendekat. Diantara rimbun semak aku menyipitkan mata─berupaya melihat siapa gerangan orang yang muncul selarut ini. Dan aku sukses terbelalak.

Gadis itu.

Sakura!

Gadis yang sedari tadi berkelana dalam pikiranku. Gadis yang sedari tadi mengintimidasi setiap syarafku untuk terus memikirkannya. Tch! Apa yang harus aku lakukan? Aku… Aku ingin ia menyadari kehadiranku. Namun bagaimana jika reaksinya tidak seperti yang kuharapkan?

Eh? Sejak kapan aku menjadi sepengecut ini?

Aku sedikit bergeming, saat menyadari gadis itu berhenti melangkah. Pandanganku terus menatapnya was-was. Hingga aku kembali dikejutkan, saat ia mendudukkan diri di bangku─

─bangku itu, eh?

Bangku dimana aku meninggalkannya begitu saja sebelum aku meninggalkan Konoha. Mengapa ia kemari selarut ini hanya untuk duduk disana? Tunggu. Apakah…

…ia sedang menungguku?

Aku mengepalkan tangan. Dalam hati aku memberontak. Lelaki macam apa aku ini? Apa ini yang selalu dilakukannya selama aku pergi?

Tch!

Aku sadar sekarang.

Buat apa menjadi kuat, bila dia tidak ada di sampingku? Karena sesungguhnya, kuakui dialah sumber penyemangatku. Dialah orang yang tulus mendampingiku tanpa meminta imbalan apapun dariku. Dia. Ya, dia. Malaikat tulus yang selalu menerimaku apa adanya.

Tekadku sudah bulat. Aku ingin menghentikan penantiannya. Aku ingin menjadi kuat bersamanya. Aku ingin kembali ke Konoha. Menjalankan misi bersama team 7. Menjadi kuat dan semakin kuat bersama mereka semua.

Seusai memantapkan hati, aku keluar dari tempat persembunyianku, menghampiri gadis itu, dan tersenyum padanya.

Kulihat ia terbelalak menatapku. Ia pun berdiri dan terus menatapku tanpa kedip. Ditelusuri lekuk wajahku secara menyeluruh oleh bening mata emeraldnya. Dan sekejap kemudian, suara yang teramat kurindukan mulai keluar dari bibirnya, "Sa..Sasuke? Be..benarkah itu kau?"

Aku tersenyum lega saat menyadari bahwa ia tidak marah sedikit pun kepadaku. Sedetik kemudian, kuanggukan kepala dan menatapnya tanpa henti.

Tuhan, biarlah seperti ini. Biarlah aku kembali bersamanya seperti yang kulalui di masa lalu. Aku bersumpah, tak akan menyakiti gadis ini lagi. Aku bersumpah, tak akan mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya.

Jadi, biarkan aku terus bersamanya mulai kini, esok, dan seterusnya.

Aku mohon.

"Ya, Sakura…" ujarku mantap. Kutarik senyumku semakin dalam. Mungkin ini senyum terlebar yang pernah kutunjukkan pada siapapun. Untuk malam ini saja, tidak apa-apa. Jika itu mungkin satu-satunya jalan untuk menebus kesalahanku di masa lalu, aku tidak keberatan.

"…Aku datang."

.

.

.

FIN

Selasa, 14 Desember 2010

Tapi aku hanyalah sebuah cermin... 8


Ia menatapku tajam. Sepasang mata yang biasanya menyorot lembut─kini menatapku tanpa ampun. Menyeleksi tiap inci lekuk wajahku dengan kilatan amarah. Aku diam tak bergeming. Kubiarkan ia melampiaskan seluruh kemarahannya padaku. Selama itu bisa membuatnya lega, aku tidak keberatan.

Anganku melayang jauh pada kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Aku tahu semuanya. Semua hal yang terjadi padanya. Beribu cobaan yang datang bertubi, seakan membuatnya lumpuh dan mendekam di jurang keputus-asaan.

Ia dipecat dari pekerjaannya di depan mataku. Belum lagi aku melihatnya bertengkar dengan kekasihnya tak lama setelah itu. Tentu aku bisa memahami bagaimana perasaannya. Bagaimana pedih yang menggelayutinya. Dan bagaimana hatinya hancur membentuk kepingan kecil. Kalau saja bisa, aku sangat ingin membantunya lepas dari selimut kepedihan.

Tapi aku hanyalah sebuah cermin.

Benda mati yang tak bisa berbuat apa-apa…

Setahun yang lalu, ia memungutku dari bak sampah. Pemilik lamaku membuangku disana. Aku yang haus akan kasih sayang terobati berkatnya. Ia bagai pahlawan bagiku. Setiap saat ia selalu memberiku senyum bak malaikatnya dengan penuh kasih. Namun sekarang? Senyum itu sirna seutuhnya. Mungkin tak akan muncul lagi menghias hariku. Hilang ditelan bumi.

Kalau saja bisa, aku ingin menangis. Menunjukkan padanya bahwa aku dapat merasakan pedih yang memporak-porandakan hatinya saat ini.

Tapi aku hanyalah sebuah cermin.

Benda mati yang merindukan senyum lembutnya…

Ia menunduk. Aku memantulkan bayangan kegalauannya. Meski aku sadar, bukan ekspresi ini yang seharusnya kupantulkan. Aku tak kuat! Aku tak akan tega memantulkan bayangan sedih seperti yang ada di depanku ini. Namun… Apa yang bisa kulakukan? Takdir berkehendak demikian. Aku tak bisa berkutik, menyangkal, dan menjerit agar lingkar bahagia kembali padanya.

Perlahan ia menangis. Tetesan air yang keluar dari pelupuk mata indah itu membuatku tercengang─tak tahu harus berbuat apa. Semua cahaya indahnya hilang bergantikan dengan gelap yang menutup segala harapan. Menerbangkan tangisan dewi malam yang terisak karenanya.

Andai aku bukan cermin, mungkin saat ini telah kudekap dia dalam belaian asa. Membiarkannya berhenti menangis. Dan meyakinkannya bahwa masih ada jalan keluar dari belitan masalah ini.

Tapi aku hanyalah sebuah cermin,

Benda mati yang tak bisa mewujudkan harapan itu…

Aku membatu saat lagi-lagi mata tajam itu kembali menatapku. Seakan mengintimidasi dan memberiku tusukan perih atas karenanya. Yang kulakukan sama seperti sebelumnya. Diam tak bergeming. Meski aku sangat ingin memberontak dan meminta Tuhan supaya diberi kesempatan untuk menjadi makhluk yang bisa menemani pemuda kesepian itu.

Namun aku sadar Tuhan tak mungkin mendengar doa ini. Doa dari sebuah benda mati yang teramat serakah. Aku tahu dan aku sadar jika Tuhan telah memberiku hati dan perasaan. Tidak dibandingkan dengan benda mati lainnya. Tapi keajaiban itulah yang membuatku ingin menuntut lebih. Kalau saja dari awal aku tidak mempunyai hati, aku tidak mungkin menyimpan rasa ini. Sebuah rasa yang bersemayam sejak aku mengenal pemuda itu.

Sungguh tidak berguna! Aku tak bisa berbuat apapun. Yang bisa kulakukan hanyalah diam menyaksikan tangisan pilu itu dalam keheningan.

Karena aku hanyalah sebuah cermin.

Benda mati yang mempunyai rasa terlarang…

.

.

F.I.N



Minggu, 21 November 2010

Memories of the Winter - Chapter 5 15



Chapter 5 (Mengapa harus dia?)

.

.

Tap..

Tap..

Tap..

Derap langkah itu terdengar di tengah kesunyian. Sepasang kaki jenjang terus menapakkan diri di lantai─menyusuri koridor sekolah yang sepi. Bulir keringat mengalir membasahi wajah, hembusan nafas tak teratur, penampilan berantakan. Itulah yang melekat pada diri Sakura saat ini. Kedua mata emeraldnya mengitar mencari sosok Ino. Ini bukan hal yang baik. Ia tahu itu. Ino pasti marah besar padanya.

Setelah sekian lama mencari, namun tak jua ia temukan. Alhasil ia pun hanya dapat terduduk lemas di lantai dengan bersimbah air mata. “Bodoh…” sesalnya lirih. Ia terisak. Air matanya turun dengan deras. “Mengapa kau begitu bodoh, Sakura? Mengapa?” Penyesalan demi penyesalan terus meluncur dari bibir merahnya. Tiada henti. Semuanya ia lampiaskan pada penyesalan itu.

“Sakura?”

Gadis berambut merah jambu itu berjengit saat mendengar sapaan lembut di belakangnya. Seketika ia menoleh dan mendapati sosok Naruto yang sedang menatapnya cemas.

“Sakura? Kau menangis? Apa yang terjadi?” Naruto lantas mendekati Sakura dan menanyakan perihal yang membuatnya tak mengerti. “Siapa yang membuatmu menangis?!” lanjutnya panik.

Namun Sakura hanya terdiam. Tak sedikit pun mengindahkan rentetan pertanyaan dari pemuda berambut pirang tersebut. Ia hanya dapat kembali terisak. Lalu pergi beranjak dari tempat itu. Tanpa jawaban. Tanpa salam. Ia langsung berlari meninggalkan Naruto yang masih terdiam penuh tanya.

-

-

‘Sasuke… Kau salah. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu…’

Ino menangis. Kalimat itu begitu menonjok perasaannya habis-habisan. Ia begitu tidak menyangka Sakura akan tega berbuat seperti ini padanya. Padahal ia telah memberanikan diri mengaku pada gadis itu bahwa ia menyukai Sasuke. Namun dengan kejamnya, Sakura justru menusuknya dari belakang seperti ini. “Pengkhianat.” desisnya lemah. Gadis berambut pirang itu tak henti-hentinya melontarkan kata pengkhianat dalam gumaman. Dadanya begitu sakit jika mengingat kalimat itu. Kalimat yang berhasil meruntuhkan seluruh benteng kepercayaan yang diberikannya pada Sakura.

Ino berhenti terisak ketika seseorang menyodorkan sapu tangan tepat di depan wajahnya. Saat menyadari bahwa Sai orangnya, gadis itu langsung membuang muka─enggan menerima sapu tangan pemberian pemuda tersebut. Ia sudah tahu, bahwa nantinya Sai hanya akan memperoloknya saja.

“Wajahmu sangat jelek ketika menangis.” ucap Sai lirih. Ino melenguh. Tepat seperti dugaannya semula. Sai pasti akan mengejeknya. Baru saja ia ingin beranjak dari hadapan Sai, tiba-tiba ia tertegun saat satu tangan menangkap lengannya. Ino menoleh dan melirik Sai dengan heran. Yang dilirik hanya diam sambil memberikan sapu tangannya secara paksa ke tangan Ino. Ino pun akhirnya menurut, dan menerima sapu tangan itu.

“Menyerahlah soal dia.” lanjut Sai seraya menatap mata Ino lekat-lekat. “Aku sadar sejak kemarin di Ichiraku. Mereka pasti punya hubungan istimewa di masa lalu. Lagipula, apa kau tidak curiga saat Sasuke yang dingin pada semua orang, tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantar Sakura pulang?”

“Eh?” Ino tercengang. Namun sekejap kemudian, bulir air mata kembali membasahi pipinya. Mereka punya hubungan istimewa? Sebenarnya ia tahu. Ia tahu itu. Jelas ia melihat sendiri, bahwa Sasuke tidak memberontak saat dirinya dipeluk Sakura. Padahal sepengetahuan Ino, selama ini Sasuke tidak akan pernah membiarkan seorang pun memeluknya. “Mengapa?” gumam Ino di sela isak tangisnya yang semakin kencang. Seharusnya ia sadar sedari dulu. Sasuke tidak akan mungkin menjadi miliknya. Selamanya dia tidak akan bisa. Tidak akan bisa menyentuh hati beku pemuda itu. Tidak akan bisa…

“Lupakan dia.” tutur Sai. Kedua mata hitamnya menyorot tajam. Tidak ada seringai bercanda di wajahnya. Hanya raut serius yang terpeta disana. “Berpalinglah darinya.”

Selama beberapa saat, Ino terdiam. Ia terlalu shock mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut Sai. Ia menggigit bibir bawahnya dan menduduk dalam. “Kau… Kau jahat, Sai.” ucapnya pelan. Perlahan, gadis berambut pirang itu mengangkat wajah. Terlihat kilat marah disana. “Kau keterlaluan! Semudah itukah kau mengucapkan kalimat itu atas apa yang telah kau lakukan? Kau pikir aku tidak tahu? Kau menjebak mereka berdua di dalam sana, dan sengaja menuntunku supaya aku tahu bahwa mereka sedang berduaan. Sebenarnya apa maumu, hah?”

Mata hitam Sai melebar. Raut tidak percaya terlihat jelas disana. Reaksi Ino sungguh diluar dugaan. Ia sangat merasa bersalah karena ini.

“Aku tahu, aku bodoh karena berani menyukai orang yang mungkin selamanya tidak akan pernah bisa kumiliki.” kata Ino pedih. Ia membuang muka. Dengan senyum getir ia kembali berkata, “Tapi kau harus tahu satu hal. Kata menyerah tidak ada dalam kamusku. Aku akan buktikan padamu, kalau aku akan membuatnya melihatku secara pantas.”

Sai tak berkutik. Tak ada satu pun kata-kata remehan yang biasanya ia lontarkan pada gadis berambut pirang tersebut. Tak ada makian. Tak ada ejekan. Yang ada hanyalah kebisuan. Ia mematung. Menyimpan rasa bersalah yang begitu besar dalam hati.

“Kali ini kau merasa menang, kan? Tertawa saja sepuasmu. Aku tidak akan melarang.” Selepas kalimat itu meluncur dari bibir Ino, gadis itu langsung berbalik─hendak beranjak pergi.

“Maafkan aku.”

Eh?

Ino berhenti melangkah. Dalam hati ia tertegun. Apa yang baru saja didengarnya tadi? Seorang Sai meminta maaf? Mustahil… Apa ia salah dengar?

“Aku menyesal.”

Ino terpaku. Terlalu terkejut mendengar Sai berkata seperti itu. Lelaki itu sungguh berbeda saat ini. Ia merasakan perbedaan itu. Ini bukan seperti Sai yang ia kenal. Sai yang selalu memperoloknya. Sai yang selalu menjadi musuh bebuyutannya sejak kecil. Mengapa sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini? Dan mengapa hati Ino terenyuh mendengarnya?

“Aku hanya ingin membuka matamu tentang satu hal. Tentang dia, Ino…”

Untuk kesekian kalinya, Ino tercengang. Ino? Benarkah nama itu yang diucapkannya tadi? Tak ada sahutan pig diakhir nama. Ini pertama kali, Sai memanggilnya seperti itu. Mengapa?

“Cobalah buka hatimu untuk orang lain. Masih ada aku disini…”

-

-

Hari telah berganti. Pagi menyapa riang. Sinar hangat sang mentari mulai menyebar di seluruh sudut dunia. Seorang gadis berambut merah jambu pun terbangun saat belaian sinar menyentuhnya. Ia membuka tirai jendela dan membalas sapaan pagi dengan senyum. Perlahan, ia turun dari tempat tidur dan berdiri di depan cermin. Ia mendesis lemah tatkala menyadari bahwa kedua matanya bengkak. Dalam hati ia menyesali perbuatannya. Kalau saja semalam dia tidak menangis hingga terlelap, pasti matanya tak akan berakhir seperti ini.

“Apa yang nanti harus aku katakan pada okaasan?” keluhnya pelan. Sembari memikirkan alasan yang tepat jika ibunya menanyakan perihal bengkak matanya─ia pun menghembuskan nafas berat dan terus memandangi pantulan bayangannya di cermin. Tiba-tiba pandangannya terpusat pada sesuatu.

Gadis itu mendekatkan diri pada cermin, dan mengamati bintik-bintik merah di sekitar hidungnya. Ia mengerutkan kening heran. “Cacarkah?” tanyanya lirih. Namun sedetik kemudian ia menggeleng. “Tidak mungkin. Bukankah aku sudah pernah mengidap cacar saat SD?” Ia mencoba mengingat.

kreek…

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatiannya. Seorang wanita anggun berambut panjang masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum lembut ketika menyadari bahwa anak gadisnya telah bangun. “Sakura, Kaasan berangkat dulu ya? Barusan Kaasan diberitahu kalau ada masalah penting di kantor.” pamit wanita tersebut.

Sakura mengangguk─mengerti, dan membiarkan ibunya melangkah keluar untuk berangkat bekerja. Ia menarik nafas lega, karena ibunya tidak menyadari bengkak di matanya. Mungkin karena merasa dikejar waktu, Kaasan pun tidak sempat memperhatikan perbedaan kecil ini, batin Sakura.

Lalu kemudian perhatiannya kembali terpusat pada bercak merah di sekitar hidungnya. “Bercak apa ini? Lagipula cacar tidak seperti ini, kan?” gumamnya heran.

-

-

“Hoi Dobe, apa yang kau lakukan disini?”

Naruto sedikit terperanjat saat tiba-tiba Sasuke muncul dan bertanya padanya. “Kau mengagetkanku saja, Teme.” sungutnya kesal. Ia pun menyandarkan punggungnya di dinding dan menerawang orang lalu lalang di sekitarnya. “Aku sedang menunggu Sakura.” jawabnya kemudian.

“Eh? Ada urusan apa kau menunggunya?” tanya Sasuke heran. Ada sedikit nada tidak suka dalam suaranya.

Naruto melirik menyelidik pada Sasuke. Ia dapat merasakan sesuatu yang tak biasa dalam diri sang Uchiha. “Sejak kapan kau peduli pada urusan orang lain, Teme?” Sasuke terperangah dan segera memperbaiki raut wajahnya. Melihat gerak-gerik mencurigakan dari pemuda berambut hitam itu, Naruto pun tersenyum kecil, “Atau jangan-jangan kau…”

“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Dobe.” tegas Sasuke seraya memberikan death glare-nya pada Naruto. Naruto pun akhirnya bungkam dan menghentikan misi menggodanya itu. “Jadi?” tanya Sasuke kemudian.

Naruto memandang Sasuke bingung. Dengan polos ia bertanya, “Jadi apanya?”

Sasuke menarik nafas kesal dan menggumam geram, “Kau ini lemot sekali sih, Dobe.” keluhnya. “Baiklah, aku ulang. Jadi, ada urusan apa kau menunggunya?”

Naruto mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Raut muka yang tadinya penuh canda kini berganti serius. Dengan lirih ia berkata, “Kemarin aku melihatnya menangis…” Naruto dapat merasakan mata onyx di hadapannya melebar saat kalimat itu meluncur dari bibirnya. “Maka dari itu, aku menunggunya untuk menanyakan hal itu.” lanjutnya.

Bertepatan dengan itulah, guru─yang sedari tadi mengajar di kelas Sakura─keluar. Lantas, Naruto menegakkan tubuhnya secara sempurna dan menunggu seseorang keluar dari kelas. “Hei, Hinata-chan!” sapa Naruto saat biru mata safirnya menangkap seorang gadis berambut indigo yang tengah berjalan keluar kelas. Ia melambai-lambai─seakan meminta gadis itu mendekat padanya.

Gadis yang dipanggil itu tiba-tiba menunduk. Ada semburat merah di kedua pipinya. Seraya terus melangkah ke tempat dimana Naruto berdiri, ia menerka-nerka alasan apa yang membuat pemuda itu menunggunya di depan kelas. “Na.. Naruto-kun… Ada perlu apa?” tanyanya gugup.

“Hmm… Hinata-chan, kau tidak sedang bersama Sakura? Dimana dia?” tanya Naruto.

Hinata menggigit bibir bawahnya. Sedikit kecewa saat mengetahui bahwa alasan yang membawa Naruto menemuinya bukan karena dirinya. “Di.. Dia tidak masuk, Naruto-kun. Tanpa surat. Mungkin dia sakit.”

“Eh? Sakit?” Naruto sukses terperanjat. Sama halnya dengan Sasuke. Pernyataan dari Hinata sungguh membuat mereka benar-benar terkejut. Seusai rasa keterkejutan mereka lenyap, Naruto pun mengusulkan untuk mengajak Hinata dan Sasuke─menjenguk Sakura.

Hinata menyanggupi. Namun Sasuke masih terdiam. Ia bimbang. Seakan ada satu bisikan yang membuatnya mengurungkan usul dari Naruto. Ia berperang dalam batin. Lagipula ia masih tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Sakura─setelah insiden pengakuan gadis itu kemarin.

“Hoi, Teme? Bagaimana?” tanya Naruto tidak sabaran, karena sedari tadi Sasuke tampak mengacuhkan usulnya.

“Aku tidak bisa.” jawab Sasuke setelah lama terdiam. Ia menghela nafas─sibuk meyakinkan diri bahwa keputusan itu memang yang terbaik baginya. “Aku baru ingat kalau aku ada urusan penting setelah ini. Sampaikan salamku untuk Sakura, ya?” Selepas kalimat itu meluncur dari bibirnya, ia pun melangkah pergi dengan beribu kebimbangan yang semakin mengusik benaknya.

“Yah, baiklah. Ayo kita berdua saja yang menjenguk Sakura, Hinata-chan.” kata Naruto seraya tersenyum lebar. Ia mulai melangkah dan Hinata mengikuti di sampingnya.

Hinata berjalan dengan gugup. Ia dapat merasakan pipinya memanas kali ini. Sungguh di luar dugaan. Ia bisa berjalan berdua dengan seorang yang telah lama ia puja. Hinata melirik Naruto dari ekor matanya. “Na.. Naruto-kun?” panggil Hinata lirih. Ia memutar otak─berupaya mencari topik pembicaraan yang sekiranya menarik. “Ka… Kau sangat peduli pada Sakura, ya? Tadi saja kau menunggu di depan kelas untuk mencarinya. Bahkan tempo hari kau menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, kan? Padahal bukankah kalian baru kenal?”

Deg! Hinata langsung menghentikan ucapannya saat menangkap raut tidak suka dari wajah pemuda berambut pirang tersebut. Ia mengutuk diri dalam hati. Ia sendiri juga tidak mengerti mengapa topik itu yang harus ia bicarakan. “A.. Ano, ma.. Maksudku─”

“Jadi kau cemburu jika aku peduli padanya, Hinata-chan?” potong Naruto tiba-tiba. Seutas senyum penuh canda pun terpeta di kedua ujung bibirnya.

Blush!

Wajah Hinata benar-benar memerah. Dadanya mencelos saat mendengar ucapan Naruto barusan. Sebenarnya ia sadar, Naruto hanya bercanda. Namun entah mengapa jantungnya seakan tak bisa diajak kompromi.

Melihat wajah Hinata yang semerah kepiting rebus, Naruto pun tertawa terbahak-bahak. Itulah satu dari sekian alasan mengapa ia gemar menggoda gadis itu. Wajah merah Hinata selalu bisa membuatnya tertawa lepas. Ia menepuk bahu Hinata pelan, “Tenang saja. Aku tidak akan berpaling darimu, Hinata-chan.”

Kemudian pemuda itu menggenggam tangan Hinata. Tadinya ia berniat untuk menarik Hinata untuk berlari─supaya segera sampai di rumah Sakura Namun hal di luar perkiraan kembali terjadi. Naruto terperanjat saat menyadari tubuh Hinata melemas dan oleng ke depan. Dengan sigap, Naruto segera menangkapnya. Setelah sadar bahwa Hinata tak sadarkan diri, pemuda itu pun panik. “Hei, Hinata-chan? Apa yang terjadi? Hinata-chan?” Naruto berseru dengan keras, namun kedua mata gadis indigo itu tetap terpejam.

Tampaknya candaan Naruto sudah kelewat batas kali ini. ^.^v

-

-

“Dia sakit?” Sasuke bertanya dalam gumaman. Otaknya memberontak dan seluruh benaknya penuh dengan tanda tanya besar. Tentu ia tidak mau mengakui itu─bahwa sesungguhnya ia teramat khawatir. “Apa nanti aku harus menjenguknya?” Lagi-lagi benaknya bertanya dalam keterbatasan. Sebenarnya ia ingin dan benar-benar ingin menerima ajakan Naruto untuk melihat keadaan Sakura. Namun ia masih bimbang. Ia masih tak tahu harus bersikap bagaimana di depan gadis itu. Sungguh sebuah kenyataan tak biasa yang pernah dirasakannya.

Sekelebat ingatan tentang kejadian di ruang ganti kemarin, membayang lagi di ingatannya. “Dia mencintaiku, eh?” Sasuke menggigit bibir bawahnya lalu tersenyum pahit. Sekilas ia tertawa hambar dan menggeleng, “Mana mungkin.” Ia tidak mau mempercayai itu. Tapi mengapa semakin ia menekan perasaannya untuk tidak mempercayai itu, justru hatinya semakin riuh bergejolak? Seakan ada gesekan listrik yang memporak-porandakan hatinya untuk mempercayai pengakuan itu.

Tapi mengapa?

Mengapa harus dia?

Ia berdebat dalam pikirannya, hingga kemudian ia sadar bahwa mobil yang dikendarainya telah memasuki halaman rumah yang selama ini ditempatinya. Seusai mematikan mesin, ia pun turun dari mobil dan sedikit terkejut ketika melihat sosok Gaara sedang berdiri di depan rumahnya. “Gaara? Mengapa kau bisa ada disini?”

Gaara tersenyum. “Sekedar berkunjung. Tak apa kan?”

“Hn, tak apa.” jawab Sasuke ramah. “Sering-sering saja berkunjung. Lagipula aku juga tinggal sendiri. Rasanya sepi sekali…”

Kedua mata Gaara sedikit melebar saat mendengar jawaban Sasuke. “Kau merasa kesepian, eh? Bukankah dulu kau justru suka menyendiri? Tak kusangka Konoha membuat kau sedikit berubah.” Seketika Gaara terdiam─memikirkan sesuatu. Lantas ia pun berdeham dan meralat ucapannya, “Yah, kecuali jika bersama ‘si gadis pink’. Hampir setiap saat kau pasti ada di dekatnya.” Tiba-tiba pemuda berambut merah itu kembali terdiam. Ia melirik dan menyadari perubahan raut sang Uchiha. Ia menyesal telah mengungkit masalah itu. “Maaf.”

Sasuke tersenyum. “Sudahlah… Kau tak perlu minta maaf. Kau boleh bercerita tentang Sakura semaumu.” Sasuke masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan Gaara masuk. Ia pun mengambil dua buah minuman kaleng dan memberikannya satu pada Gaara.

Gaara menurut─meski ia masih heran mengapa Sasuke tampak seolah telah melupakan dendamnya pada gadis tersebut. Namun ia tak mau mempermasalahkan itu. Justru bagus. Kedua teman baiknya masih ada harapan untuk bersatu kembali. “Omong-omong soal Sakura, aku jadi ingat satu hal. Baru-baru ini, aku mendapat kabar bahwa dia pindah dari Tokyo. Tapi aku tidak tahu dia pindah kemana.”

“Hn, aku tahu.” kata Sasuke singkat. Ia meneguk minuman kaleng yang sedari tadi dipegangnya─tanpa sedikit pun menggubris tatapan penuh tanya dari Gaara. “Dia pindah kesini.” lanjutnya kemudian.

“Eh?” Gaara terkesiap. “Ja-jadi kau sudah bertemu dengannya?”

Sasuke mengangguk. “Hn.” Perlahan kedua mata onyx-nya menyipit. Ia menunduk, lalu memainkan kaleng minuman di tangannya. Dengan lirih ia berkata, “Sepertinya aku memang tidak bisa berhenti mencintainya…”

Gaara tertegun. Ia menatap Sasuke lekat. Ia sadar. Sahabatnya itu benar-benar sedang dilanda kebimbangan. Ia sadar akan itu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, selain diam dan mendukung Sasuke dari belakang. “Kalau begitu jangan.” ucap Gaara yakin. “Jangan berhenti mencintainya…”

“Tapi Itachi mencintainya.” Nada suara Sasuke mulai meninggi. Namun kemudian ia kembali melenguh dan menghela nafas berat. “Begitu juga dia…” ucap Sasuke lirih. Ia menggigit bibir bawahnya─menahan pedih yang seakan begitu merobek hatinya saat ini. “Mereka mempunyai perasaan yang sama. Dan aku tidak akan mungkin bisa masuk diantara celah hati mereka.”

“Mengapa kau begitu yakin jika dia juga mencintai kakakmu?” tanya Gaara. Kedua matanya menyorot tajam.

“Semua terlihat jelas, Gaara. Tanpa ucapan pun semua orang juga akan tahu jika dia juga mencintai Itachi.” kata Sasuke keras kepala.

Gaara menarik nafas. Ia sadar jika ternyata watak keras Sasuke yang satu itu memang belum berubah. Seketika ia tampak berfikir. Entah apa yang ia pikirkan, tiba-tiba ia menatap Sasuke tajam dan mengucapkan suatu hal yang sedari dulu ia sembunyikan. Tentang Itachi. Tentang kenyataan di balik meninggalnya pemuda berkucir itu. Suatu rahasia besar yang hanya diketahui olehnya dan Itachi seorang.

“Sasuke… Bagaimana jika aku bilang, kalau penyebab meninggalnya Itachi bukanlah murni kecelakaan?”

.

.

.

To be continued



Minggu, 24 Oktober 2010

Haru no Uta 6


Siluet abstrak beradu jingga terlukis indah di langit senja. Matahari telah bersiap kembali ke peraduan. Sinar cemerlangnya mulai meredup seiring perjalanan sang waktu. Tenggelam di balik laut biru yang berkilau menawan karena pantulan sinarnya. Burung gagak berkoak menandakan petang akan segera tiba.

Disinilah seorang gadis berdiri termenung. Jembatan tempatnya berpijak seakan ikut menemani dalam kesendirian malam. Helai demi helai rambut panjangnya menari lembut mengikuti hembusan angin. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Mata emeraldnya membuka sayu. Tak ada senyum yang biasa terbingkai dalam bibir merahnya. Hanya jejak lesu yang tertinggal dalam raut wajahnya.

Menunggu.

Hanya itulah yang bisa ia lakukan. Tampak konyol memang. Ketika semua orang mengatakan bahwa itu sia-sia belaka─namun ia tak sedikit pun mengindahkannya. Ia takkan mampu memaksa hati kecilnya untuk berdiam diri. Meski itu hanya akan mengikis batinnya yang perih.

-

-

Kelopak bunga sakura melayang bebas di udara. Tiupan angin sepoi membuat kelopak itu berbelok menuju sang gadis, dan mendarat tepat diatas rambut merah jambunya. Membelai lembut, mendamaikan jiwa. Tanpa disadari, seulas senyum pedih terpeta dalam bibirnya. Ini mengingatkannya pada musim semi beberapa waktu silam.

'1 bulan sudah…'

Saat itu perang masih berkecamuk. Meluluh lantakkan semua yang ada. Hanya menyisakan beribu liter darah dan rasa sakit kehilangan. Gadis itu salah satu yang menjadi korbannya. Ketika ia harus dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa orang yang dicintainya telah gugur di medan perang. Perasaan sedih dan resah yang teramat sangat, selalu menampik isi hatinya. Menorehkan sayatan luka yang sangat menyakitkan.


-flashback-

Gadis berambut merah jambu itu terus berlari sepanjang koridor rumah sakit. Tak ia hiraukan nafasnya yang tersengal hebat serta peluh yang menetes deras. Yang ada di pikirannya hanyalah segera menemukan seseorang dan memastikan bahwa orang itu baik-baik saja.

"Sakura!"

Sakura berbalik ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Tsunade─salah satu dokter yang menangani pasien-pasien yang terlibat perang─berlari tergopoh mendekati Sakura. Diantara nafasnya yang memburu tak karuan, sekuat mungkin ia mencoba untuk bertanya, "Tsunade-sama, apa kau melihat Sasuke?"

Ekspresi Tsunade berubah galau. Dan Sakura dapat merasakan itu. Tsunade tampak berusaha keras untuk memperbaiki ekspresinya yang sempat berubah. Tapi tetap saja, Sakura dapat merasakan kegalauan itu menyembul dari raut wajah wanita berambut coklat tersebut.

Tsunade membuka mulutnya sesaat, lalu mengatupkannya kembali. Tampaknya terlalu sulit baginya untuk mengatakan seluruh kata yang ada di benaknya pada Sakura. Namun akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibirnya, karena ia sadar cepat atau lambat gadis di hadapannya akan mengetahui berita ini. "Sasuke… Dia…" ucapannya menggantung lirih. Ada kegetiran dalam suaranya. "Saat ditemukan, dia sudah tidak bernyawa."

DEG!

Sakura terhenyak. Berharap detik itu juga waktu berhenti berjalan. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Wajahnya membeku. "Kau bercanda." ujarnya seraya menggeleng untuk mengenyahkan kata-kata itu dari benaknya.

Melihat perubahan air muka Sakura, tentu membuat Tsunade merasa serba salah, "Maaf aku harus mengatakan ini padamu, Sakura."

Sakura membuang muka─menyembunyikan matanya yang mulai basah, "Tidak mungkin…" gumamnya lirih. Ia terus menggeleng-gelengkan kepala, berupaya keras menjernihkan pikirannya yang mendadak buntu.

Tsunade merendahkan suaranya, "Aku tau bagaimana perasaanmu sebagai pengantin baru, Sakura. Juga nasib anakmu nantinya… Cobalah untuk tetap tegar."

-end of flashback-


Gadis berambut merah jambu itu tersenyum nanar. Ulasan memori itu masih terekam jelas dalam otaknya. Hari dimana ia harus mengetahui kenyataan tragis bahwa sang kekasih telah pergi ke dunia yang berbeda dengannya. Sang kekasih telah terbang tinggi menyusuri langit tak berujung─ melewati beribu dewi yang tengah memainkan dawainya di atas awan. Menyongsong kehidupan abadi bersama orang-orang yang telah pergi dari kehidupan manusianya.

Dan seharusnya Sakura sadar satu hal. Bahwa ia harus merelakan pemuda itu pergi untuk selamanya.

Namun entah mengapa,

Ia tidak sepenuhnya bisa…

-

-

Kelopak bunga sakura kembali berayun anggun. Membentuk gesekan simfoni merdu saat terlepas dari rantingnya. Angin kembali berhembus menerbangkan kelopak-kelopak bunga menjamah udara. Sesaat semilir angin mempercepat tempo irama hembusannya. Kelopak-kelopak bunga merah jambu tersebut berkumpul─menari riang bersama angin.

Gadis itu tersenyum tipis. Kepalanya bergoyang kecil, mencoba menikmati hiburan di hadapannya. Namun sedetik kemudian matanya membelalak terkejut. Ketika angin seakan berhenti bertiup dan kumpulan bunga sakura jatuh bebas menapak tanah. Gadis itu menutup mulutnya yang menganga. Goresan guratan aneh tertera di kulit wajahnya. Terkesiap. Tercengang. Terkejut ketika melihat sosok yang selalu ditunggunya kini berdiri di hadapannya.

"Sa…Sasukee...?"

Sosok pemuda di hadapannya tersenyum lembut. Senyum terlembut yang pertama kali ditujukannya pada gadis itu.

Butir permata berkumpul di sudut mata emerald sang gadis. Ia menangis… Namun bukan tangis kesedihan. Bukan pula tangis kepedihan. Melainkan tangis suka cita layaknya seorang bayi yang baru saja lahir.

Tapi ini terlalu mustahil.

Bagaimana mungkin pemuda itu bisa berdiri tegak di hadapannya? Kami-sama… Apakah ini hanyalah semacam ilusi semata? Ilusi karena keinginan kuat hati kecilnya untuk bertemu pemuda itu? Namun…

Ilusi ini terlihat sangat nyata.

Pemuda di hadapannya merentangkan kedua tangan. Mengetahui maksud pemuda itu, Sakura segera menghambur dalam dekapan hangat pemuda tersebut. Isak tangis mengharu biru mewarnai petang kelam kali ini. Kedua mata emeraldnya terus saja mengucurkan cairan hangat yang dengan sukses membasahi kedua pipinya.

"Sakura…" Sakura bergeming saat pemuda berambut raven tersebut, menyebut namanya. Tak bisa dipungkiri bahwa ia begitu rindu pada suara itu. "Waktuku tidak banyak…" Sakura terhenyak saat kalimat itu meluncur dari bibir Sasuke. Gadis itu semakin mempererat pelukannya. Ia benamkan wajahnya di dada bidang milik Sasuke. Ia tidak ingin kehilangan pemuda itu untuk yang kedua kalinya.

Senyum tipis mengembang di ujung bibir pemuda bermata onyx tersebut. Telapak tangannya membelai lembut rambut merah jambu Sakura, "Jangan menungguku lagi…"

Sakura terkesiap. Antara terkejut sekaligus marah. Ia lepas kedua lengannya dari pelukan Sasuke. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi!" Gadis itu memekik cukup keras. Hatinya riuh bergejolak. Wajahnya merah padam menahan amarah. Gadis itu dapat merasakan air mata kemarahan mulai menggenangi pelupuk matanya.

Sasuke mengatupkan bibir dan matanya menyipit, "Meski wujudku akan hilang ditelan angin. Namun perlu kau tau satu hal, Sakura." Pemuda itu menyentuh kedua bahu Sakura. Mata onyx-nya menatap lekat mata emerald gadis di hadapannya, "Jiwaku akan selalu berada di sampingmu…" Suaranya menggumam lembut. "Aku akan selalu menjagamu."

Sakura kembali terisak. Menahan pedih yang begitu menyayat. Kedua matanya menerawang kosong ke bawah.

Perlahan pemuda itu menurunkan wajahnya hingga sejajar dengan mata Sakura. Ia tersenyum dan merengkuh wajah Sakura dengan kedua telapak tangannya. Ia tempelkan bibirnya yang dingin di dahi Sakura. Gadis itu memejamkan kedua matanya.

"Aishiteru…" Sasuke mendesis pelan.

Seketika, Sakura merasakan tiupan angin sekilas yang tidak wajar di sekitarnya. Matanya yang semula memejam kembali membuka. Di detik itu pun, ia terduduk lemas. Air matanya kembali mengucur deras. Bayangan Sasuke tak ada lagi di hadapannya. Kelopak-kelopak bunga Sakura kembali menari di udara mengiringi kepergian Sasuke.

Sasuke telah pergi untuk selamanya…

-

-

-


7 tahun kemudian…


"Haruke!"

Seorang anak lelaki menoleh, ketika ia mendengar namanya disebut. Segera ia berlari ke arah wanita berambut merah jambu yang menyerukan namanya tersebut. "Okaasan!" serunya seraya memeluk sekilas sosok wanita di hadapannya.

Sakura tersenyum lembut, "Dasar nakal. Kaasan sudah bilang kan, jangan main jauh-jauh." Tangan putihnya menepuk rambut raven anak lelaki di hadapannya.

Haruke memperlihatkan deretan gigi putihnya. Ia terkikik geli. "Gomen ne, Kaasan." Sejurus kemudian, kedua mata onyx-nya menerawang matahari yang mulai terbenam. "Haru hanya ingin tahu tempat yang sering kaasan ceritakan."

Sakura mengikuti pandangan Haruke. Seketika, ia menyunggingkan senyum, "Haruke, arigatou." ucapnya tulus. Menyadari tatapan bingung anak-nya, wanita itu pun kembali mengacak rambut anak lelaki di sampingnya, "Kau sangat mirip dengan Tousan-mu. Semua yang melekat pada dirimu…" Wanita itu menghentikan kalimatnya untuk sementara. Ia dudukkan dirinya dengan bertumpu pada lutut─hingga wajahnya sejajar dengan Haruke. "Dan berkat kau, Haruke," senyum kembali merekah di sudut bibir wanita itu. "Kaasan bisa merelakan Tousan pergi. Kau adalah obat rindu Kaasan pada Tousan. Arigatou."

Haruke tersenyum lebar. Ia angguk-anggukkan kepalanya. "Kaasan… Lihat saja. Suatu saat nanti, Haru akan menjadi pahlawan seperti yang Tousan lakukan."


Kami-sama… Terima kasih…

Terima kasih telah memberikan Haruke…

untuk menemani kehidupanku yang baru…

tanpa Sasuke…

.

.

.

F.I.N


Vocabulary :

Kami-sama : Tuhan

Okaasan / Kaasan : Ibu

Otousan / Tousan : Ayah

Gomen ne : Maaf

Arigatou : Terima kasih


Selasa, 19 Oktober 2010

Kaulah Malaikatku 6


Di bawah kolong langit hitam ini, aku bermimpi tentang dirimu. Dirimu yang telah membawaku dalam lingkar bahagia─yang mungkin tak kan pernah teraba olehku jika aku tak mengenalmu.

Kau,

Kau, Sasuke.

Sosok yang tak pernah lenyap dalam memori, meski waktu memaksaku untuk melepaskanmu. Melepasmu jauh dari relung hati terdalam.

-

-

Pertama kali aku melihatmu di taman rumah sakit. Kau memetik dawai gitar dan bersenandung merdu. Nada indah dan raut teduhmu membayang di benakku. Hingga tanpa sadar aku jatuh dalam suatu rasa aneh yang tak semestinya kurasakan.

Cinta terlarang… Aku tahu itu.

Namun rasa ini sudah di ubun-ubun. Tak dapat kutahan. Tak dapat kuhentikan. Semua berjalan seperti arus. Hingga tanpa kusangka kau memiliki rasa yang sama denganku. Aku tak dapat menolak. Meski aku tahu ini salah. Aku ingin menjadi milikmu. Selamanya milikmu.

Namun, semua telah berlalu. Masa indah yang tak mungkin terulang dalam rekaman kehidupan. Menyeretku ke dalam nestapa yang tak kutahu jalan keluarnya.

Perih. Kau tahu? Rasa perihlah yang menggerogoti jiwaku saat kata berpisah terlontar. Kau merasa bingung, eh? Apa kau tidak merasa pantulan mataku menyimpan rasa kehilangan saat itu?

Pernyataan terakhir darimu sungguh membuatku hilang akal. Bagaimana mungkin kau mengatakan bahwa selama ini aku tidak mencintaimu? Tidak, Sasuke! Kau salah besar jika berpikir seperti itu. Aku sama sekali tidak pernah dan tidak akan melakukan itu. Karena rasa cinta ini, masih kusimpan erat di dasar jiwaku. Hingga saat ini. Saat aku menulis goresan pena ini. Semua karena aku masih mencintaimu. Dan tetap akan mencintaimu. Hingga waktu menjemputku kelak.

Perlu kau tahu satu hal, Sasuke. Aku tak menyalahkan keadaan. Begitu pula dengan takdir. Dirikulah yang patut disalahkan. Ya, aku. Aku yang terlalu pengecut untuk mengutarakan kejujuran. Sebuah kejujuran yang membuat hidupku menjadi gelap. Tanpa sinar. Tanpa dirimu…

Saat itu aku bungkam. Karena aku memang seorang pengecut. Jujur itu menyakitkan. Entah mungkin karena aku tak kuasa menatap bening mata hitammu memancar kesedihan saat kau mendengar pengakuanku. Satu hal yang ingin kulihat darimu. Wajah riangmu. Itu saja. Aku tak ingin melihat ekspresi lain darimu. Jika kau menangis di depanku, itu lebih dari cukup untuk membunuh batinku.

Karena itulah, aku hanya bisa menulisnya di selembar kertas lusuh ini. Supaya aku tak menatap ekspresimu ketika mengetahui kebenaran ini. Biarlah reaksimu menjadi rahasia hati yang tak pernah kutahu.

-

-

Sasuke…

Dengar… Dengarlah pengakuan ini.

Aku sakit parah. Seiring bergantinya hari, sakit ini semakin menjadi. Masa hidupku mungkin bisa diibaratkan dengan secepat kau membalikkan telapak tangan. Tuhan akan segera mengutus malaikatnya untuk menjemputku. Aku akan menuju sebuah kehidupan baru yang abadi tanpa dirimu.

Sekarang kau pasti mengerti mengapa aku menyebut rasa ini sebagai cinta terlarang. Awalnya aku pikir aku akan sembuh jika menjalani terapi secara rutin. Itulah alasan aku menerimamu menjadi kekasihku saat itu. Tapi semua berjalan diluar kehendak. Penyakit ini semakin parah. Maka dari itu aku berniat memutuskan ikatan kasih kita.

Maaf.

Maaf aku merahasiakan ini darimu. Aku tak ingin kau terluka. Biar aku saja yang menyimpan luka ini. Biarlah aku pergi dengan damai tanpa harus melihatmu terluka.

-

-

Namun lagi-lagi garis takdir tak sejalan dengan rencanaku. Semua menyimpang dari apa yang aku harapkan. Di ambang kematian, seorang malaikat datang padaku. Tapi aneh. Ia tidak datang untuk menjemputku menuju alam yang hakiki. Justru ia memberikan sebentuk nyawa yang nyata padaku dan membiarkanku meneruskan hidup.

Bersyukur. Ya, aku bersyukur karena aku tidak jadi pergi secepat perkiraanku. Tapi aku hanya menyesalkan satu hal. Suatu hal yang begitu merobek dinding hatiku hingga berbekas abadi. Aku tersiksa, kau tahu? Aku terpukul ketika tahu siapa pemilik topeng malaikat itu.

Tembok harapanku sirna seketika. Awalnya aku pikir, aku tidak akan mati dan akan terus bersamamu. Tapi aku sangat kecewa saat tahu bahwa itu mustahil.

Kau, Sasuke! Kau!

Apa yang ada di pikiranmu saat kau mendonorkan jantungmu padaku? Mengapa kau bisa berpikiran sependek itu, Sasuke?

Sakit, kau tahu? Aku menghabiskan berliter mutiara luka saat menghadapi kenyataan ini. Seandainya aku tahu bahwa sang malaikat itu adalah kau, aku tidak akan sudi menerima nyawa ini.

Namun semua telah terjadi. Aku sadar bertubi penyesalan tidak berguna. Itu tidak akan mengembalikan kau. Kau telah pergi dan tak akan kembali.

Aku hanya berharap kau bahagia dan terus menungguku disana. Aku akan menggunakan jantung ini dengan baik. Sebaik niat tulusmu memberikan nyawa berharga ini, Malaikatku…


F.I.N