Minggu, 12 April 2009

Please Stop the Time ♥ Part 2





Keadaan Luna pagi ini sangat buruk. Matanya bengkak akibat semalaman menangis. Hatinya hancur berkeping-keping, mengetahui bahwa Ferdi dan Lulu saling mencintai. Dia juga marah pada Lulu, karena tidak jujur mengungkapkan perasaannya. Sangat marah…

Luna segera beranjak dari kamar. Ia ingin segera menemui Lulu dan mengeluarkan amarahnya. Tapi, begitu Luna sampai di kamar Lulu, Lulu tak ada di kamarnya. Luna menyambar buku diary yang masih tergeletak di tempat yang sama dan segera turun ke lantai satu. Ia menuju ke dapur, tempat biasanya Lulu berada sepagi ini.

Begitu sampai di dapur, Luna terkejut. Lulu sedang menyiapkan kue tart sederhana dengan hiasan warna biru, kesukaan Luna. Di atasnya terdapat lilin-lilin kecil berjumlah tujuh belas. Luna benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahun mereka berdua. Buku diary Lulu yang sedari tadi dipegangnya, pun jatuh ke lantai karena keterkejutan Luna.

“Bruk!” buku tebal itu bersuara keras saat jatuh ke lantai dan membuat Lulu terkejut. Rupanya, sejak tadi Lulu tidak menyadari kedatangan Luna.

“Lho?! Kak?! Tumben pagi-pagi udah bangun,” kata Lulu sedikit tergagap. Luna bergeming.

“Oh, ya! Happy birthday ya, Kak! Aku udah siapin kue ini special untuk kakak…” kata Lulu tulus sambil tersenyum. Luna memandang Lulu yang terlihat sedang menunggu ucapan yang sama keluar dari mulut kakaknya tersebut, lalu mengalihkan pandangannya ke kue tart indah itu.

Namun, Luna hanya tersenyum sinis, dan berkata, “Lo kira, ini semua cukup dengan apa yang udah lo lakuin?”

Kening Lulu berkerut, “Maksud Kakak? Aku nggak ngerti…” Lulu memandangi wajah saudari kembarnya itu dengan bingung.

“Mungkin ini bisa ngejawabnya.” ujar Luna sambil menendang buku diary itu ke depan Lulu.

Lulu benar-benar terkejut. Berarti Kak Luna sudah mengetahui perasaan yang sejak dulu kupendam, simpul Lulu dalam hati. Kepahitan dan ketakutan mulai menyelimuti Lulu. Matanya pun sudah mulai berair.

“Gue rasa, lo udah ngerti sekarang. Nggak perlu gue jelasin lagi kan?” ucap Luna sinis. Dia pun mendesah pelan, “Hebat…” Luna tertawa sinis. “Selama ini lo berhasil nyembunyiin perasaan lo, dengan pura-pura ngedukung gue ama Ferdi. Gue salut ama lo.”

Air mata mulai membasahi pipi Lulu. “Kak Luna baca diary-ku?” tanya Lulu pelan.

Luna hanya menjawabnya dengan senyuman sinis.

“Kenapa kak?!” nada suara Lulu mulai meninggi, membuat Luna terkejut. “Ini privasiku, dan kak Luna gag boleh sembarangan baca!”

Nada suara Luna pun ikutan meninggi, “Seandainya gue gag baca diary lo, seumur hidup gue gag akan pernah tau, kalau ternyata lo juga suka ama Ferdi!”

Air mata Lulu semakin deras. “Apa salah kalau aku suka ama Ferdi, kak?”

“Salah lo, karena lo gag pernah mau jujur ama gue.” Luna pun berhenti sesaat untuk mengatur nafasnya yang naik-turun, gag karuan. Kemudian dia bertanya pelan, “Lalu, apa jawaban lo saat dia nembak lo?” matanya menerawang ke luar jendela. Sulit baginya, untuk melihat ekspresi Lulu.

“Aku―” ucapan Lulu terpotong.

“Gue rasa, gue tau jawaban lo.” Luna terpaksa memotong ucapan Lulu, karena dia tak sanggup mendengarnya. Sangat sulit untuk menerima kenyataan pahit ini. “Kenapa? Kenapa selalu lo yang dapet seluruh kebahagiaan ini?” Air mata Luna sudah berada di pelupuk matanya, dan karena Luna tidak ingin menangis di depan adiknya, dia pun melangkahkan kaki untuk beranjak keluar.

Namun dengan sigap, Lulu menahannya. “Kak… Dengerin aku dulu…” pinta Lulu sedikit memohon. Tangannya memegegang erat tangan Luna.

Tanpa pikir panjang, Luna melepaskan tangan Lulu dari lengannya. Lulu pun jatuh ke lantai karena hempasan kasar tangan Luna. Luna segera berlari ke luar. Lulu mengikutinya sambil terus memohon.

“Kak, dengerin aku dulu! Biar aku jelasin!”

Namun, Luna tak menggubris. Ia terus berlari ke luar, menuju jalan raya. Luna menyeberang jalan dan mencegat sebuah taksi yang kebetulan lewat. Luna tak tahu harus kemana. Yang ada di pikirannya hanya menjauh dari Lulu.

Lulu yang melihat kakaknya ada di seberang jalan langsung berlari menyeberang. Saat itu, Luna sedang membuka pintu taksi.

“Kak Luna!!!” teriaknya.

“Diiinnnnnnnn……….!!!” tanpa dia sadari, ada mobil yang sedang melaju kencang menuju ke arahnya. Mobil itu pun menabrak tubuh Lulu, membuatnya terpental beberapa meter.

“LULUUUUU!!!!”

I wish that the time will stop so I can change everything that I’ve done…

♥♥♥

Lulu terbaring lemas di rumah sakit. Kata dokter, kepalanya mengalami pendarahan hebat, dan kemungkinan menderita amnesia. Luna masih shock dan sangat merasa bersalah. Air mata mengucur deras di pipinya.

“Maafin gue, Lu… Maafin gue…” Luna tak henti-henti mengucapkannya. Orang tuanya berusaha menghiburnya, namun tak berhasil. Luna benar-benar merasa bersalah. Seandainya dia tidak lari keluar dan mendengarkan penjelasan Lulu saat itu, pasti Lulu tak akan mengalami hal ini.

Seorang perawat keluar dari kamar Lulu. Luna dan kedua orang tuanya dengan cemas menanti kabar dari peawat itu.

“Dia sudah siuman, tapi…” Luna tak menggubris. Dia segera menghambur ke kamar Lulu dan berlutut di sebelah tempat tidur adiknya itu.

“Lulu… Lo inget gue kan? Lo inget semuanya kan?” kata Luna terisak.

“Kamu siapa?” jawaban Lulu itu membuat dunia Luna seakan berputar. Tangisnya meledak. Orangtuanya segera menuntunnya ke sofa di ujung kamar Lulu. Dokter datang dan segera memeriksa keadaan Lulu. Keluarganya menanti dengan cemas.

“Dia tidak apa-apa. Kemampuan numeric, bahasa, dan lain-lainnya bagus. Dia hanya tidak ingat dengan orang-orang di sekitarnya, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya,” jelas sang dokter panjang lebar.

“Apa Lulu bisa sembuh, Dok?” tanya ibu Lulu khawatir.

“Saya tidak bisa memastikan, kita lihat saja nanti…” terang Dokter kemudian meninggalkan ruangan. Luna menundukkan kepala. Ingin menangis rasanya, namun air mata Luna sudah habis. Mereka bertiga segera menghampiri Lulu.

“Lulu, ini mama, sayang…” kata ibu Lulu lembut sambil mengusap rambut Lulu.

“Mama…?”

“Iya, sayang. Lalu ini papamu,” kata ibu Lulu lagi sambil memegang pundak ayah Lulu, “dan saudari kembarmu –Luna.”

“Hai, Luna…” kata Lulu pelan sambil tersenyum pada Luna. Luna berusaha tersenyum meskipun ini terasa sakit. Terbesit rasa sedih, mendengar Lulu tidak memanggilnya ‘kakak’ lagi seperti biasa.

“Lu, maafin gue, ya…” ucap Luna lirih.

Lulu bingung, “Maaf untuk apa, Lun?”

“Nanti kalo lo udah agak mendingan, gue cerita. Pokoknya maafin gue…” Luna memohon, “Maafin ya…?”

Lulu pun tersenyum dan mengangguk.

♥♥♥
Lulu kembali ke rumah beberapa hari setelah kejadian itu. Teman-temannya sudah menanti di rumah untuk menyambut kedatangan Lulu.

“Lulu…!!! Welcome back!!! Lo inget gue nggak? Gue Dina, sohib lo! Tar pasti lo inget… Nih, temen-temen udah pada nungguin lo dari tadi… Kita bawa kado juga lho…” kata Dina panjang lebar. Orang tua Luna dan Lulu memang melarang teman-temannya menjenguknya di rumah sakit, takut Lulu malah pusing dan memperparah keadaannya. Teman-temannya ini memang troublemaker. Jadi, mereka benar-benar rindu pada Lulu.

Lulu terkejut mengetahui ternyata begitu banyak orang yang menyayanginya. Air mata menetes di pipinya.

“Lu, lo kok nangis, sih?” tanya Luna sambil merangkul Lulu.

“Makasih semuanya…” kata Lulu perlahan sambil tersenyum dan mengusap air matanya. Teman-temannya pun berebut memperkenalkan diri mereka sekali lagi ke Lulu. Lulu tampak bahagia.

Luna pun tersenyum lega. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia segera mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Dan benar, Ferdi tak ada di antara mereka.
♥♥♥
Pesta kecil-kecilan penyambutan kembali Lulu telah selesai. Luna menuntun Lulu ke kamarnya. Lulu segera berkeliling meihat-lihat isi kamarnya yang berhiaskan aneka aksesoris berwarna cokelat. Luna memperhatikannya dari tempat tidur, tersenyum. Rasanya geli melihat Lulu mengagumi isi kamarnya sendiri.

“Ini foto temen-temen sekelas, Lun?” tanya Lulu, memperhatikan sebuah foto yang ditempel di dinding.

“Iya, itu anak-anak kelas XII IPA 3, kelas lo,” jawab Luna sambil menghampiri Lulu.

“Terus ini siapa?” tanya Lulu sambil menunjuk salah satu cowok di foto itu, “Aku nggak inget ada dia waktu pesta tadi…”

“Itu Ferdi. Dia ketua kelas kita…” jawab Luna lirih. Dia tak mau mengingat Ferdi lagi. Dia sudah memutuskan untuk melupakannya, dan merelakannya menjadi milik Lulu.

“Luna,” kata Lulu pelan, “Apa dulu aku suka sama dia?” Pertanyaan Lulu membuat Luna bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, dia ingin menjawab tidak, dan merebut Ferdi dari Lulu. Tapi di sisi lain, dia ingin menjawab ‘ya’ dan membuat Ferdi bahagia bersama Lulu.

“Kenapa lo tanya gitu?” Luna malah balik bertanya.

“Nggak tahu. Tapi rasanya aku kangen banget sama dia. Walaupun aku nggak ingat itu siapa…” ujar Lulu.

“Iya Lu, lo dulu suka sama dia. Dan dia juga suka sama lo. Dia pacar lo…” Luna akhiirnya menjawab dengan jujur, meskipun hatinya terasa perih.

.. to be continued ..

Artikel Terkait



1 komentar:

AkaneD'SiLa mengatakan...

hueh. sakit bangetz tuh si luna..
hm
napa ferdi gak ada di pesta itu?

Posting Komentar

tengz vo give me a coment ☺