Rabu, 13 Juli 2011

Memories of the Winter - Chapter 6 39

--cerita sebelumnya--





Chapter 6 : I Love You



Mendung.

Suasana yang sangat mendukung. Setidaknya bagi seseorang yang sedang terluka seperti Sasuke. Kilau mata dinginnya lenyap entah kemana, bergantikan dengan jejak pedih yang sanggup menimbulkan rasa iba bagi siapa saja yang melihat. Guratan yang sama ketika ia kehilangan kakaknya beberapa tahun silam. Dan kini ia menampakkan guratan itu lagi saat mengetahui sebuah kenyataan besar yang selama ini tak diketahuinya.

Itachi meninggal karena dirinya.

"Mengapa?" tanyanya lirih. Suaranya bergetar. Ia ingin menangis─menumpahkan seluruh emosi yang sedari tadi berkelana dalam benak. "Bodoh. Kau benar-benar bodoh, Itachi…" Ia menyentuh pusara Itachi dengan tangan bergetar. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Ditampiknya seluruh ego yang bersarang dalam tubuhnya. Ia ingin menangis. Seorang Uchiha menyedihkan ini sangat ingin menangis. Saat ini hanya itulah yang dapat membuatnya lega. Ya …menangis.

.

-flashback-

"Sasuke, bagaimana jika aku bilang, kalau penyebab meninggalnya Itachi bukanlah murni kecelakaan?"

"Eh?" Sasuke terkesiap saat pernyataan itu meluncur dari bibir Gaara. Jantungnya bagai dihantam gemuruh. Mata onyx-nya melebar dan terus menatap Gaara penuh tanya. "A-apa maksudmu?"

Gaara bergeming. Ia terdiam─tampak menyesal. Tak seharusnya ia membeberkan itu. Bagaimana pun juga Itachi telah mempercayakan rahasia besar ini padanya. Namun di lain sisi ia tak tega melihat Sasuke yang tersiksa hanya karena sebuah kenyataan yang tak diketahuinya tersebut. Sasuke harus tau. Dia harus tahu rahasia ini.

"Gaara? Kau menyembunyikan sesuatu?" Sasuke bertanya ragu. Entah mengapa sebagian dari jiwanya mengoyak untuk tahu alasan keganjilan sikap Gaara. Namun bagian yang lain seakan membisu─terlalu takut mendengar kenyataan yang mungkin akan semakin membawa perih.

Maaf Itachi, aku harus membongkar ini semua, batin Gaara bersua. Ia yakin keputusan ini akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Ia pun mulai membuka mulut dan memandang Sasuke nanar, "Itachi…" Gaara menarik nafas dalam-dalam. "…kecelakaan itu disengaja olehnya. Ia telah merencanakan kecelakaan ini sebelum kejadian naas itu terjadi."

Di detik berikutnya, kaleng minuman yang sedari tadi dipegang Sasuke, terjatuh di lantai. Sasuke tercengang. Entah ia tak tahu harus bereaksi apa, saat kalimat itu keluar dari mulut Gaara. Ia terus terdiam. Mata onyx-nya menatap kosong penuh rasa tidak percaya dan keterkejutan yang tak mampu digambarkan oleh kata.

Gaara menunduk, "Dia sangat menyayangimu, Sasuke. Sebenarnya dia juga tidak tega meninggalkanmu, sementara dia sendiri sudah diberi amanah dari almarhum orang tua kalian untuk terus menjaga dan menemanimu. Tapi…" Gaara terdiam untuk sementara. Ia menarik nafas dan kemudian melanjutkannya, "…dia sangat keras kepala. Dia menuruti egonya tanpa berpikir panjang. Saat itu aku hampir tidak mengenalinya. Seorang Uchiha Itachi menjadi lemah karena terbutakan cinta. Maaf saat itu aku tidak berhasil mencegahnya." Lelaki berambut merah itu kembali menunduk.

Tak ada satu patah kata pun yang diucapkan oleh Sasuke. Rupanya berita ini cukup membuatnya shock. Ia tetap bertahan dalam kesunyian semunya. Tak akan ada yang tahu, bahwa dibalik kebisuan itu, tersimpan pemberontakan yang teramat pedih dari hati.

"Itachi mencintai Sakura. Kau juga tahu itu kan?" Gaara kembali memecah keheningan, "Tapi sayangnya perasaan tulus itu bertepuk sebelah tangan."

Eh?

"Kau mencintai Sakura kan, Sasuke? Itachi tahu itu sejak lama. Dan dia juga tahu, kalau Sakura…" Suara Gaara tercekat di tenggorokan, "…Sakura juga mencintaimu."

Sasuke ternganga. Seketika ia menggeleng─mengenyahkan semua cerita Gaara dari otaknya. Sungguh ia tidak mau mempercayai itu. Dadanya sesak, seakan ada sesuatu yang menghantam dan membiarkannya menimbulkan rasa menyakitkan yang teramat sangat.

"Dia mengira kematian adalah satu-satunya jalan untuk bisa merelakan kalian berdua. Dan ia memilih jalan itu." Lelaki berambut merah bata itu mengakhiri ceritanya dengan menunduk, "Maaf Sasuke, baru sekarang aku mengatakan ini padamu." ujarnya lirih seraya terus menenggelamkan kepala─berupaya menyembunyikan perasaan sedih yang menggelayut hati.

Sasuke tak berkutik. Sekian lama ia membisu. Tak satupun kata yang terlontar. Tak satupun air mata yang terjatuh. Pemuda berambut hitam itu hanya dapat memasang topeng bisu untuk menutupi pemberontakannya dalam jiwa.

-end of flashback-

.

Jauh dalam hati Sasuke, ia tidak ingin mempercayai cerita Gaara. Ini terlalu berat. Ini terlalu sulit untuk diterima. Tapi apa yang harus ia perbuat? Saat ini dia mengerti. Semua pertanyaannya sudah terjawab. Kejanggalan sikap Itachi sebelum pergi ke rumah Sakura berhasil menjawab semua ketidak percayaannya.

Isakan tangis mulai terdengar. Pemilik mata onyx itu menangis hebat. Bertubi penyesalan menyusup masuk dalam benak. Kalau saja saat itu ia mencegah Itachi. Kalau saja saat itu ia peka dalam menyimpulkan kejanggalan itu. Dan kalau saja…dia tidak pernah mencintai Sakura. Kalau saja seperti itu, hidup Itachi tak akan pernah berakhir seperti ini.

"Kau orang terbodoh yang pernah kutemui, Itachi. Kau sangat bodoh. Benar-benar bodoh…" Hanya kalimat itu yang dapat keluar lirih dari mulutnya. Selanjutnya ia hanya dapat kembali menangis. Karena hanya tindakan itulah yang dapat menyalurkan rasa sakitnya.

…lewat air mata.

.

.

Danau Harura.

Disinilah Haruno Sakura berada. Gadis itu tengah duduk di tepi danau dengan raut sedih. Senyum yang tercipta setiap kali ia berada di tempat itu, kini lenyap entah kemana. Ditatapnya pemandangan danau dengan pandangan nanar. Pandangan kosong yang tersirat berjuta kesedihan.

Perlahan ia menunduk. Kali ini pandangan itu terpusat pada amplop coklat di kedua tangannya. Amplop itu memang hanyalah amplop biasa. Tapi didalamnya tersimpan bongkahan perih yang sanggup meruntuhkan dinding asa yang selama ini telah dibangunnya dengan susah payah. Gadis itu bergeming saat membaca sampul depan di amplop tersebut. Nama rumah sakit yang kemarin sempat dikunjunginya untuk memeriksakan diri perihal bercak di wajahnya, seakan menjadi saksi bisu dari awal kepedihan ini.

"Tuhan…" panggilnya lirih. Lantas ia mendongak menatap langit.

Mendung.

Bahkan langit pun memahami suasana hatiku saat ini.

Untuk saat ini, hanyalah kata itu yang melintas dalam otak. Ia tahu bahwa ia harus tabah. Ini cobaan Tuhan untuk membuatnya semakin kuat. Lagipula ia sudah cukup sering mengalami hal ini sebelumnya. Kesedihan yang mendalam. Perasaan tertekan karena sobekan tajam. Ia sudah cukup sering melaluinya.

Kematian ayahnya, kematian Itachi, dan kehilangan Sasuke─cinta pertamanya. Seharusnya ia bisa menjadikan itu sebagai sebuah pengalaman untuk lebih tegar.

Tapi kali ini, ia benar-benar tidak bisa.

Sesak. Sangat menyesakkan. Kenyataan ini terlalu berat untuk manusia serapuh dia. Ia menyadari itu. Rasanya sangat perih. Hingga ia tak kuasa memberontak pada lingkar takdir yang begitu kejam.

"…Mengapa harus aku, Tuhan?"

.

.

Datanglah ke danau yang aku tunjukkan beberapa hari yang lalu.

Ada yang ingin kubicarakan.

Meski tanpa mencantumkan nama, meski nomor itu tak tercantum di kontak ponselnya. Namun agaknya Sasuke tahu siapa pengirim pesan itu. Ia pun langsung menyambungkan telepon pada pemilik nomor tersebut.

"Halo?" sapa suara di seberang telepon. Suara yang berbeda dari yang biasa didengarnya. Suara yang selalu terdengar manis di telinga, kini terdengar serak─seakan menyimpan bertubi kepedihan di dalamnya. Dan tak bisa dipungkiri, bahwa ia merindukan suara itu. Sangat rindu…

Sasuke tersadar dari lamunan ketika suara di seberang telepon kembali mengulang kata yang sama seperti sebelumnya. Pemuda itu pun menarik nafas. Dalam sekejap rasa gugup melanda. Hingga ia tak kuasa untuk mengatakan apa yang dirasakannya saat ini. Wanita di seberang telepon, yang pernah dicintainya, bahkan sampai detik ini terus dicintainya, tak bisakah mengerti bagaimana perasaan itu tanpa harus melalui kata?

"Maaf." ucap Sasuke lirih.

Maaf atas ketidak pedulianku selama ini. Maaf atas keegoisanku selama ini. Maaf atas ketidak jujuranku selama ini. Maaf, Maaf.

"─Maaf aku tidak bisa datang kesana." Sasuke menunduk, mengutuk dirinya sendiri. Sikap egoisme seorang Uchiha kembali menyerang. Seandainya saja ia bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terpendam dalam hati. Seandainya saja ia bisa mengungkapkan semua itu.

Wanita di seberang telepon sempat terdiam. Hingga beberapa detik kemudian, ia kembali berujar, "Aku akan menunggu sampai kau datang."

Dan… klik! Sambungan telepon terputus.

Tanpa berpikir panjang, Sasuke segera mengambil langkah seribu menuju stasiun. Ia harus cepat kembali ke Konoha. Itulah yang saat ini ia pikirkan. Wanita itu, wanita yang begitu dirindukannya itu, sedang menunggunya disana. Ia harus segera datang.

.

.

"Sakura…" Dengan ringkihan nafas yang berpacu selepas berlari, Sasuke memanggil nama itu dalam kegetiran. Sudah lama ia tidak menyebut nama tersebut. Ia sangat merindukannya.

Dilihatnya Sakura sedang duduk di atas rumput di tepi danau. Ia sedikit bergeming saat wanita berambut merah jambu yang dipanggilnya tadi, menoleh ke arahnya. Wajah ceria yang selama ini menghiasi wajah gadis tersebut, seakan hilang bergantikan dengan jejak lesu yang mengintimidasi setiap lekuknya. Bahkan mata emeraldnya tampak sembab. Terlihat sekali bahwa gadis itu baru saja menangis.

Gadis itu lantas tersenyum hambar. "Aku tahu, kau pasti datang." ucapnya pelan. Ia menatap Sasuke nanar.

"Sakura…" Sasuke meyebut nama itu lagi. Jika bisa, ia ingin selamanya menyebut nama itu terus menerus. Ia terlalu rindu. Ia terlalu merindukan nama indah itu terlontar dari bibirnya. "Sakura…" panggilnya lagi. Lirih. Penuh kepedihan. Seakan ia menginginkan malam ini hanya ia yang akan berbicara. Entah mengapa tiba-tiba sebuah firasat kecil mengumpul dalam benak. Akan ada satu masalah lagi yang terjadi malam ini. Pemuda itu hanya dapat berharap bahwa Sakura tak mengatakan hal yang mampu menambah koyakan perih di dadanya.

"Mulai besok, aku akan menghilang dari hadapanmu."

DEG!

Sasuke terkesiap. Ia menatap gadis di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. "A-apa?" Sasuke bertanya dengan suara bergetar.

Gadis yang berada di hadapan Sasuke, lantas tersenyum. Ia menatap pemuda itu dengan penuh keyakinan, "Sesuai harapanmu, bukan?" Selepas kalimat itu meluncur tegas dari bibir merahnya, gadis itu pun tersenyum pada Sasuke, dan beranjak pergi dari tempat itu.

Sasuke masih diam tak bergeming. Hingga saat Sakura melewatinya, baru ia bertindak. Tanpa sadar, tangannya menahan tangan Sakura─seakan ia ingin gadis itu tidak pergi dan tetap berada di sampingnya. Sudah lama ia menanti. Dan ia tidak ingin penantiannya terbuang percuma. "Mana bisa kau berbuat seperti ini?" Sasuke menoleh ke arah Sakura, "Kau sudah membawaku sejauh ini, Sakura. Dan saat aku menyadari rasa ini, kau justru ingin pergi dariku?"

Sakura menatap pemuda yang saat ini menggenggam tangannya dengan tatapan menusuk, "Aku tak mau melihatmu lagi. Aku ingin lenyap dari hadapanmu. Bukankah ini yang kau harapkan sedari dulu, Sasuke?"

Mata onyx milik Sasuke melebar tatkala kalimat Sakura menyentuh gendang telinganya. Semua itu terlalu menyakitkan untuk didengar. "Kau baru saja mengatakan bahwa kau mencintaiku. Dan sekarang kau mengatakan kau ingin lenyap dari hadapanku? Kau kira ini hanyalah sebuah lelucon yang bisa kau ucapkan semudah itu?"

"Lupakan pernyataan cintaku tempo hari. Anggap saja aku tidak pernah mengatakannya," jawab Sakura tajam, namun entah mengapa ada sedikit keraguan di dalamnya.

Sasuke tercenung. Ia tak menyangka Sakura akan tega mengombang-ambingkan perasaannya seperti ini. "Tidak. Kau bohong." Sasuke menggeleng lesu. Perkataan Gaara tentang perasaan Sakura padanya, terlintas kembali di otaknya. "Kau mencintaiku."

Gadis berambut jambu itu kemudian tertawa masam, dan kemudian mengedikkan bahu. Ia melepaskan genggaman tangan Sasuke, lalu berniat melangkah menjauh dari pemuda bermata onyx tersebut. Lagi-lagi usahanya gagal ketika Sasuke menahannya dan menariknya ke dalam pelukan.

"Katakan itu tidak benar." ucap Sasuke lemas. Ia memeluk erat Sakura dalam dekapan. Ia benamkan wajahnya di bahu gadis itu. Ia sempat terdiam hingga kemudian berkata, "Aku mencintaimu." Meski dengan susah payah, alhasil kalimat itu akhirnya terlontar tegas dari mulutnya.

Sasuke bernafas lega. Akhirnya dua kata yang selama ini selalu ditekannya karena egoisme seorang Uchiha, kini meluncur tanpa beban. Namun meski demikian, perasaan galau kembali mennyelimuti. Ia terlalu takut menyadari kenyataan bahwa Sakura tetap akan bersi kukuh pada niat awalnya untuk meninggalkan pemuda menyedihkan ini.

"Sakura…" Sasuke mengeratkan pelukannya saat Sakura tak juga membalas pernyataan cintanya. Ia benamkan wajahnya lebih dalam di atas bahu gadis berambut merah jambu tersebut. Demi Tuhan, ia teramat mencintai gadis itu. Ia tak akan rela kehilangan untuk yang kedua kalinya. Sudah cukup beban yang ditanggungnya karena rahasia sang kakak. Kini ia tidak mau batinnya lebih menderita. Ia ingin gadis itu mengerti apa yang selama ini dirasakannya. Betapa selama ini ia selalu menekan keinginan untuk menggenggam tangannya, memeluknya, menyatakan rasa padanya, dan memilikinya.

Tiba-tiba pemuda berambut raven itu kembali dikejutkan, ketika gadis yang berada dalam dekapannya ini, mengeluarkan sebuah isakan kecil dari bibirnya. Eh? Sasuke menggigit bibir. Perlahan ia mengendorkan pelukannya. Dalam hati ia memberontak. Ia kembali dikelilingi rasa bersalah. Ini bukan pertama kalinya, Sakura menangis karena perbuatannya. Ia masih ingat betul saat insiden kematian kakaknya─seusai ia mengusir Sakura untuk keluar dari hidupnya. Dan semua pasti bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya. Gadis itu menangis.

Air mata yang sedari dulu teramat ingin dihapusnya, bolehkah ia menggantinya saat ini?

Baru saja jemari Sasuke hendak menghapus rintihan permata kepedihan itu, Sakura tiba-tiba angkat bicara di tengah tangisnya, "Kau terlambat Sasuke."

Sasuke ternganga. Sesaat ia kembali menajamkan pendengarannya─sekedar berharap bahwa bukan kalimat itu yang ia dengar barusan. Namun apa mau dikata, harapan itu tak sejalan dengan kenyataan. Kalimat yang sama kembali meluncur dari mulut Sakura. Dan pemuda itu hanya dapat mematung saat menyadari hatinya kini runtuh menjadi bongkahan kasat mata.

Seorang Uchiha ditolak?

Sasuke tercenung. Masih terdiam dalam kesunyian yang menyakitkan. Ia dapat merasakan jantungnya serasa dihujam meriam. Perih. Dadanya begitu sesak tak tertahankan.

Gadis berambut merah jambu itu menggumam kecil setelah sekian lama berlangsung hening, "Biarkan aku pergi," pintanya lirih

Sasuke lantas melepaskan genggamannya dengan lemas. Entah apa yang harus ia lakukan saat ini. Ini terlalu menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada apa yang sudah terjadi selama ini.

Dan sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Pemuda itu hanya dapat terdiam. Tak sedikit pun mengungkapkan beribu pertanyaan yang masih membuncah di otaknya. Ia terlalu takut. Ia begitu takut jika gadis itu justru mengatakan sesuatu hal yang lebih buruk.

Ia takut hatinya lebih terluka dari ini.

Pemilik mata onyx itu terduduk di atas rumput, menopang tubuh lemasnya dengan lutut. Gadis yang dicintainya kini telah pergi. Dan ia tidak kuasa lagi untuk terus berpura-pura kuat. Bertubi pemberontakan terus menerus berselubung dalam benaknya. Andai ia mengatakannya sejak awal, akankah berakhir seperti ini? Mungkin tidak.

Ditundukkannya kepala─sekedar menyembunyikan bening air yang mulai membasahi mata. Entah sejak kapan ia menjadi secengeng ini. Semua hal yang sudah terjadi padanya, sungguh teramat menyedihkan.

Untuk saat ini, mungkin tangisan hanyalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.

.

.

.

To be continued

Rabu, 29 Juni 2011

Aku Datang 17


Di bawah purnama aku berpijak─sekedar menyerukan rintihan luka dalam kesunyian lara. Kutengadahkan kepala seraya menerawang angkasa tanpa cela. Tak seharusnya aku terlambat menyadari. Kini aku ingin membuat sebuah pengakuan. Biarlah langit tahu, aku tengah dirundung pilu yang teramat menyesakkan. Biarlah angin pun tahu, aku telah menepis jauh rasa ego yang selama ini menggelayutiku dengan erat. Dan biarlah alam tahu, aku merindukan sosok malaikat kecil di tempat itu.

Sangat merindukannya…

Aku benci diriku yang lemah seperti ini. Namun tak bisa dipungkiri, aku jauh lebih membenci diriku yang dulu. Diriku yang selalu mempertahankan sikap angkuh demi meraih apa yang aku inginkan. Hingga aku tak menyadari semua orang tersakiti karena perbuatan bodohku. Terutama dia.

Memori itu masih terekam jelas dalam ingatan. Dia─gadis itu─gadis yang terakhir kali kutemui sebelum meninggalkan Konoha, aku merasa sangat bersalah padanya. Entah seberapa terluka dia saat itu. Mengingat betapa rasa yang ditujukannya begitu besar padaku. Aku menyesal. Aku merasa berdosa telah meninggalkannya.

Dia. Dia selalu menatapku dengan tulus. Menyatakan rasa sukanya padaku berulang kali. Bahkan selalu mengkhawatirkan keadaanku sekalipun aku merasa baik-baik saja.

Bodoh. Mengapa aku baru menyadarinya? Mengapa aku baru sadar bahwa sesungguhnya dia…

…teramat berarti untukku?

Kini aku menyerah. Kutinggalkan semua sikap burukku di masa lalu. Aku ingin mengulang semuanya dari awal. Bolehkah?

DEG!

Aku segera bersembunyi saat kudengar derap langkah yang mendekat. Diantara rimbun semak aku menyipitkan mata─berupaya melihat siapa gerangan orang yang muncul selarut ini. Dan aku sukses terbelalak.

Gadis itu.

Sakura!

Gadis yang sedari tadi berkelana dalam pikiranku. Gadis yang sedari tadi mengintimidasi setiap syarafku untuk terus memikirkannya. Tch! Apa yang harus aku lakukan? Aku… Aku ingin ia menyadari kehadiranku. Namun bagaimana jika reaksinya tidak seperti yang kuharapkan?

Eh? Sejak kapan aku menjadi sepengecut ini?

Aku sedikit bergeming, saat menyadari gadis itu berhenti melangkah. Pandanganku terus menatapnya was-was. Hingga aku kembali dikejutkan, saat ia mendudukkan diri di bangku─

─bangku itu, eh?

Bangku dimana aku meninggalkannya begitu saja sebelum aku meninggalkan Konoha. Mengapa ia kemari selarut ini hanya untuk duduk disana? Tunggu. Apakah…

…ia sedang menungguku?

Aku mengepalkan tangan. Dalam hati aku memberontak. Lelaki macam apa aku ini? Apa ini yang selalu dilakukannya selama aku pergi?

Tch!

Aku sadar sekarang.

Buat apa menjadi kuat, bila dia tidak ada di sampingku? Karena sesungguhnya, kuakui dialah sumber penyemangatku. Dialah orang yang tulus mendampingiku tanpa meminta imbalan apapun dariku. Dia. Ya, dia. Malaikat tulus yang selalu menerimaku apa adanya.

Tekadku sudah bulat. Aku ingin menghentikan penantiannya. Aku ingin menjadi kuat bersamanya. Aku ingin kembali ke Konoha. Menjalankan misi bersama team 7. Menjadi kuat dan semakin kuat bersama mereka semua.

Seusai memantapkan hati, aku keluar dari tempat persembunyianku, menghampiri gadis itu, dan tersenyum padanya.

Kulihat ia terbelalak menatapku. Ia pun berdiri dan terus menatapku tanpa kedip. Ditelusuri lekuk wajahku secara menyeluruh oleh bening mata emeraldnya. Dan sekejap kemudian, suara yang teramat kurindukan mulai keluar dari bibirnya, "Sa..Sasuke? Be..benarkah itu kau?"

Aku tersenyum lega saat menyadari bahwa ia tidak marah sedikit pun kepadaku. Sedetik kemudian, kuanggukan kepala dan menatapnya tanpa henti.

Tuhan, biarlah seperti ini. Biarlah aku kembali bersamanya seperti yang kulalui di masa lalu. Aku bersumpah, tak akan menyakiti gadis ini lagi. Aku bersumpah, tak akan mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua kalinya.

Jadi, biarkan aku terus bersamanya mulai kini, esok, dan seterusnya.

Aku mohon.

"Ya, Sakura…" ujarku mantap. Kutarik senyumku semakin dalam. Mungkin ini senyum terlebar yang pernah kutunjukkan pada siapapun. Untuk malam ini saja, tidak apa-apa. Jika itu mungkin satu-satunya jalan untuk menebus kesalahanku di masa lalu, aku tidak keberatan.

"…Aku datang."

.

.

.

FIN